Senin, 28 Maret 2011

Pengertian dan Sejarah Retorika..rdwaprilamsah


1.      Pengertian Retorika
Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami (Talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan fikiran yang jelas dan tampa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat , daya kreasi dan fantasi yang tinggi ,teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Ber-retorika juga harus dapat dipertanggung jawabakan disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi.
Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi informasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh karena itu pembicaraan setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan ini muncul, ketika manusia mengucapkan dan menyampaikan pikirannya kepada manusia lain.
Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, fikiran , kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata – kata yang tepat, benar dan mengesankan . ini berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif . jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan sebagai tanda kepintaran ; dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak membawa efek ? dalam konteks ini sebuah pepatah cina mengatakan ,”orang yang menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”
Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara ini dapat dicapai dengan mencontoh para rektor atau tokoh-tokoh yang terkenal dengan mempelajari dan mempergunakan hukum – hukum retorika dan dengan melakukan latihan yang teratur. dalam seni berbicara dituntut juga penguasaan bahan dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa.
a.      Retorika Dalam Islam
Yang dimaksud retorika dalam islam ialah penjelasan yang disampaikan atas nama islam kepada sekalian manusia; orang muslim atau nonmuslim, untuk mengajak mereka kepada islam, atau mengajarkan keislaman, dan mendidik mereka secara akidah dan syariah, ibadah dan muamallah, serta pemikiran dan tingkah laku. Atau juga menjelaskan posisi islam terhadap problematika kehidupan; manusia dan dunia, individu maupun kelompok, spiritual maupun material, dan teori maupun praktek.[1] Retorika tersebutmemiliki karakteristik kapabilitas dan universalitas sesuia dengan keluasan dan keumuman islam sendiri. Maka hal ini mencakup; individu dengan fisik, akal, jiwa, dan emosionalnya.[2] Selain itu retorika islam juga mencakup permasalah akhlak yang berkaitan dengan nilai-nilai utama, norma-norma, dan etika manusia.
Demikian pula, ia mencakup permasalahan social, yang berkaitan dengan pengentasan masyarakat dari belenggu meterialisme, anarkisme, liberalisme, dan oportunisme.[3] Lebih luas lagi, retorika islam juga mencakup permasalah pemikiran, ekonomi, politik, atau permasalahan hubungan antar bangsa dan Negara (internasional), untuk memberikan penawar sekaligus obat yang sesuai resep anjuran agama Islam.
2.      Sejarah Perkembangan Retorika
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakan oleh orang Syrancuse, sebuah koloni Yunani dipulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah oleh seorang tiran. Tiran, dimanapun dan pada zaman apapun senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Dictator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan.
Di sinilah kemusyilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup menyakinkan dewan juri di pengadilan. Karena waktu itu tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Seorang harus menyakinkan mahkamag dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil mengembalikan tanahnya, hanya karena tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya dipengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (seni kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang teknik kemungkinan. Disamping teknik kemungkian, Corax meletakan dasar-dasar oraganisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argument, penjelasan tambahan, dan kesimpulan. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.[4] Masih dipulau Sicilia, tetapi di Agrigentum, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Sebagai orator ia pernah berguru kepada Pytagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk  menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan dictator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, “ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena.
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta di Athena. Negeri yang kaya dan kelas pedagang cosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, dipengadilan, orang memerlukan kemampuan berfikir yang jernih dan logis serta berbicara jelas dan persuasive. Gorgias memenuhi kebutuhan “pasar” ini dengan mendirikan sekolah retorika. Ia menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromptu.
Pytagoras menyebut kelompoknya sophistai, “guru kebijaksanaan”. Mereka berjasa mengembagkan retorika. Retorika bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka mengajarkan teknik-tekni memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar.
Berkat kaum Sophis, jago-jago pidato muncul dipesta Olimpiade, digedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding banyak orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh hanya untuk menikmati pertandingan adu pidato. Contoh tokoh petarung pidato ialah Demosthenes dan Iscorates.
Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivey).
Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negative adalah Iscorates. Iscorates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, dan hanya untuk mereka yang berbakat. Gaya bahasa Iscorates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Scorates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitute. Orang yang menjual kecantikan untk memperoleh uang, kata Scorates, adalah prostitut. Begitu juga orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Scorates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophis adalah Plato. Ketika merumuskan retorika yang benar yang membawa orang kepada hakekat, Plato membahas organisasi, gaya dan penyampain pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak.
Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap dalam penyusuna pidato, tekenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five canons of Retoric).
Inventio (penemuan). Pada tahap ini pembicara menggali topic dan meneliti khalayak untuk mengetahui metodi persuasive yang paling tepat. Dalam tahap ini juga pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argument) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak. Menurut Aristoteles ada tiga tahap cara mempengaruhi manusia: ethos, phatos, dan logos.
Despotio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. pesan harus dibagi kedalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kerangka berfikir manusia: pengantar, pernyataan, argument, dan epilog.
Elocution (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan mengunakan bahasa yang tepat untuk mengemas pesannya. Aristoteles memberikan nasehat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar dan dapat diterima, pilihlah kata-kata yang jelas dan langsung, sampaikan kalimat yang indah, mulia dan hidup, dan sesuaikan bahasa dengan pesan khalayak dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini pembicara mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaranya.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Disini acting sangat berperan. Pembicara harus memperhatiakan vocis dan gestus moderatio cum venustate.
3.            Retorika Zaman Romawi
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se­gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator­-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di­besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem­berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber­pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per­tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme­nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se­sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi".
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena­nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah.
4.            Retorika Abad Pertengahan
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng­gerakkan - yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang­-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me­namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor". Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng­ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli ba­laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pen­didikan Islam tradisional.
5.                  Retorika Modern
Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-­fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan".
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng­organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me­nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng­utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me­nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hu­bungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis - justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan mata­nya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem­bangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speak­ing. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Winans, men­definisikan persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-propo­sisi". Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama.
2. Charles Henry Woolbert
Woolbert memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh orga­nisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da­sar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-ka­limat yang dipertalikan secara logis.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. "Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Ki­ta cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Al – Qaradhawi, Yusuf. 2004. Retorika Islam;Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam. Jakarta: Pustaka Al – Kautsar.



[1] Yusuf Al – Qaradhawi. Retorika Islam. Pustaka al Kautsar :2004. Hal 1.
[2] Ibid
[3] Oportunisme ialah paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu
[4] Jalaluddin Rahmat, Retorika Modern Pendekatan Praktis,Rosda: 1998 hal 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar