Senin, 28 Maret 2011

Islam Indonesia Kontemporer.rdwaprilamsah


Islam Indonesia Kontemporer
Islam mulai memasuki wilayah politik indonesia sejak pertama kali negara indonesia mengadakan pemilihan umum (pemilu). Dengan cara membuat suatu wadah, yaitu mendirikan partai politik. Pada waktu itu partai yang berasaskan islam yaitu ada dua pertama, Partai Masyumi dan Partai NU. Melalui wadah ini umat islam memainkan perannya sebagai seorang politikus yang ingin menanamkan nilai-nilai islam. Dalam tesis Harun Nasution yang berjudul The Islamic State in Indonesia. The Rise of the Ideology, the Movement for its Creation and the Theory of the Masjumi,  beliau mengemukakan bahwa ada perbedaan besar antara NU dan Masyumi. Kaum modernis di dalam Masyumi pada umumnya mereka hendak membangun suatu masyarakat muslim dan sebagai akibatnya mereka mengharapkan suatu negara islam. Kelompok yang diwakili NU lebih sering memperjuangkan suatu Negara sebagai langkah pertama dan melalui negara islam ini mereka hendak mewujudkan suatu masyarakat islam. Suatu perbedaan lain adalah, bahwa ulama mendapat kedudukan yang penting dalam organisasi negara konsep NU, sedangkan posisi mereka tidak begitu menonjol dalam pemikiran kaum Masyumi .
Setelah jatuhnya orde lama dan berganti orde baru, peran politik islam dalam negara Indonesia cenderung mengalami kemunduran. Disebabkan karena adanya usaha represif terhadap partai politik yang berhaluan islam, yang dilakukan oleh penguasa pada waktu itu karena ketakutan akan kehilangan kekuasaannya. Selama kekuasaan orde baru hanya ada tiga partai yang diakui dan boleh ikut dalam pemilu. Dan partai yang berasas islam pada waktu itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Adanya usaha represif yang dilakukan oleh rezim orde baru, yang berkuasa selama 32 tahun, rupanya menimbulkan kekecewaan pada banyak pihak. Puncak dari keramahan tersebut adalah dengan turunnya mahasiswa ke jalan dan menduduki gedung DPR-MPR. Yang dimotori oleh mahasiswa UIN, UGM, dan UI. Dampak dari demonstrasi tersebut membuat semakin memudarnya legitimasi politik rezim orde baru, sehingga pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.  Babak baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia dimulai. Pada pemilu yang dilangsungkan tahun 1999, organisasi islam banyak mendirikan partai politik yang berasaskan islam dan atau berbasis umat islam. Diantaranya: PPP, PAN, PKB, PNU, PBB, PK sekarang PKS, dll. Pada masa itu simbol-simbol agama sangat mewarnai kancah perpolitikan indonesia. Simbol-simbol keagamaan yang diekspresikan apparatus birokrasi, tentu memiliki makna sosial. Bisa jadi ia merupakan representasi dari kesalehan dan kesadaran spiritual apparatus birokrasi, tetapi juga bukan mustahil ia juga bisa berubah menjadi sumber pengumpulan legitimasi. Hasil dari pemilu tahun 1999 tersebut membawa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden RI ke-4.
Sejak pemilu tahun 1999 sampai dengan sekarang, umat islam mulai kebingungan akan pilihan yang harus ia pegang. Sebab, semuanya mengaku bernafas islam dan mementingkan hak rakyat. Dalam tubuh partai politik-pun banyak mengalami perebutan kepemimpinan dan atau pecah menjadi beberapa partai.
Perubahan setting politik pasca-Orde Baru tanpa diduga memberi ruang bagi berkembangnya wacana penegakkan syariat islam di indonesia. Seperti yang telah dilakukan oleh Aceh, dan beberapa daerah yang menginginkan penggunaan syariat islam.
 Pesatnya pengaruh pemikiran yang berasal dari luar indonesia banyak sekali membawa perubahan terhadap pola pikir budaya umat islam di indonesia. Seperti munculnya aliran Jaringan Islam Liberal (JIL), Front Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lain sebagainya. Adanya berbagai aliran ini dilatarbekalangi oleh adanya kesadaran kritis, yaitu kessadaran yang menolak dominan dalam budaya keagamaan indonesia yang cenderung sarat dengan kepentingan, tunduk pada etos konsumerisme, menopang tatanan yang ada, atau malahan mengambil keuntungan darinya.

.Adanya perubahan pola pikir tersebut disebabkan oleh empat hal, antara lain oleh:
1.       Faham tauhid yang dianut kaum muslimin  telah bercampur dengan kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang suci dan hal lain yang membawa pada kekufuran;
2.       sifat jumud membuat umat islam berhenti berpikir dan berusaha. Umat islam maju pada zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan;
3.       umat Islam selalu berpecah-pecah, maka umat islam tidak akan mengalami kemajuan;
4.       hasil kontak yang terjadi antara dunia islam dengan barat.

Ormas Islam
Kelahiran ormas Islam serta perkembangannya dewasa ini barangkali akan mudah dipahami, bila ditempatkan dalam periodisasi sejarah umat Islam Indonesia, terutama sejak abad 19 sampai sekarang. Dalam kaitan periodisasi sejarah yang pernah dibuatKuntowijayaagak cukup relevan.
Sejarawan itu membagi perkembangan umat islam menjadi tiga periode, yaitu periode mitos, ideology dan idea atau lmu. Setiap periode mempunyai cirri khas masing-masing, meski tidak bias di pisahkan secara tegas. Kelahiran ormas bersama program-programnya yang terorganisir dibidang pendidikan dan dakwah membuktikan bahwa perjuangan tidak lagi melalui jalan radikal. Boleh dikata semua  ormas islam yang lahir sebelum merdeka seperti, Jamiat Khair (1905), Muhammadiya (1912), Al-Irsyad (1914), Persatuan Islam (1920an), NU (1926) dan lain-lain memiliki program dakwah dan pendidikan. Hal ini merupakan jawaban yang tepatterhadap keadaan umat saat itu yang masih terbelakang di bidang pengetahuan, baik pengetahuan agama atau pengetahuan umum.
Meski pendidikan itu memang belum merata dikalangan umat sehingga masih terus dikembangkan, tetapi kesenjatan intelektual merupakan masalah tersendiri yang melakukan pemecahan. Dalam suasana seperti itulah, Himpunan mahasiswa islam( HMI) lahir 1947 di Yogyakarta. Dalam perkaderannya, HMI memberikan pengetahuan islam bagi anggota-anggotanya yang menuntut ilmu di perguruan tinggi islam. Program ini dirumuskan dalam sebuah jargol yang indah,’’Menciptakan Ulama Intelektual-intelektual Ulama’’. Masalah ini mendapat perhatian pula dari NU dan Muhammadiyah.


Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia disingkat ICMI adalah sebuah organisasi cendekiawan muslim di Indonesia. ICMI dibentuk pada tanggal 7 Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990. Di pertemuan itu juga dipilih Baharuddin Jusuf Habibie sebagai ketua ICMI yang pertama. Perguruan tinggi membawa perubahan banyak terhadap pemikiran di indonesia. Sebab, dalam sejarah kita melihat bahwa gerbong pemikkiran Islam di Indonesia di mulai dari IAIN Sunan Kalijaga dan IAIN Syarif Hidatullah. Diantara tokoh-tokoh pembahruan pemikiran islam tersebut adalah Harun Nasution, Nurcholish Madjid, A. Mukti Ali, dll.

Front Pembela Islam (FPI)
FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan Jakarta oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Pendirian organisasi ini hanya empat bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, karena pada saat pemerintahan orde baru presiden tidak mentoleransi tindakan ekstrimis dalam bentuk apapun. FPI pun berdiri dengan tujuan untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.
Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar  di setiap aspek kehidupan.
Latar belakang pendirian FPI sebagaimana diklaim oleh organisasi tersebut antara lain:
  1. Adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa.
  2. Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan.
  3. Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam.
Pada tahun 2002 pada tablig akbar ulang tahun FPI yang juga dihadiri oleh mantan Menteri Agama dan terdakwa kasus korupsi Dana Abadi Umat (DAU), Said Agil Husin Al Munawar, FPI menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan menambahkan "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" pada amandemen UUD 1945 yang sedang di bahas di MPR sambil membawa spanduk bertuliskan "Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa".
Namun Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dr. J. Soedjati Djiwandono berpendapat bahwa dimasukkannya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 yang diamandemen, justru dikhawatirkan akan memecah belah kesatuan bangsa dan negara, mengingat karekteristik bangsa yang majemuk.
Pembentukan organisasi yang berdasarkan syariat Islam dan bukan Pancasila inilah yang kemudian menjadi wacana pemerintah Indonesia untuk membubarkan ormas Islam yang bermasalah di tahun 2006.

Majelis Mujahidin Indonesia


Majelis Mujahidin lahir berawal dari keprihatinan para tokoh gerakan Islam yang pernah digembleng di “pesantren Orde Baru” seperti Irfan Suryahardi, Deliar Noer, Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, Mawardi Noor dan lain-lain. Mereka terdorong untuk mengadakan forum kecil, berdiskusi yang ujungnya menggagas lahirnya suatu lembaga yang bisa menyatukan visi kaum muslimin yang hendak memperjuangkan tegaknya syariat Islam, yaitu Majelis Mujahidin. Untuk menandai lahirnya institusi tersebut diadakan kongres I Majelis Mujahidin di Yogyakarta tanggal 5-7 Agustus 2000. Saat itu hadir kira-kira 1500 orang dari berbagai gerakan di seluruh tanah air, bahkan hadir pula beberapa perwakilan dari negara sahabat, seperti Moro, Malaysia, dan Arab Saudi.
Pada Kongres I di Yogyakarta, diputuskan bahwa Majelis Mujahidin merupakan organisasi aliansi gerakan (tansiq amal) yang bersifat universal, tidak dibatasi suku, bangsa maupun negara. Memang format tansiq ini memang masih menjadi bahan perdebatan yang cukup panjang di antara aktivis Majelis Mujahidin. Namun yang pasti, tansiq ini bisa saja diikuti oleh organisasi maupun personal. Meskipun tidak atau belum ada aturan tertulis mengenai syarat menjadi anggota Majelis Mujahidin, namun cukup dimaklumi bahwa anggota Majelis Mujahidin adalah muslim yang taat. Konsekuensi lain dari format aliansi adalah adanya kesiapan anggota-anggotanya untuk berbeda pendapat dengan anggota yang lainnya. Inilah barangkali yang menjadi ciri khusus Majelis Mujahidin, dibandingkan dengan kelompok muslim “fundamentalis” yang pada umumnya tertutup tetapi justru di sini kader-kadernya harus siap menghadapi perbedaan-perbedaan. Namun ternyata jika diselami lebih jauh, aliansi Mujahidin ini masih mempersyaratkan, yaitu keshahihan aqidah, dalam timbangan mujadihin, yaitu dalam prespektif aqidah salaf. Dengan mereka yang sama-sama beraqidah salaf bisa melakukan aliansi lebih terbuka, sedangkan dengan mereka yang tidak beraqidah salaf, aliansinya dilakukan hanya dalam wilayah perjuangan penegakan syariah. Jadi di sini semacam ada kaidah “kita beramal dalam masalah yang kita sepakati”
Selain konsekuensi tersebut, format keanggotaan seperti ini cukup rawan menghadapi penyusupan pihak luar yang tidak merasa nyaman dengan kehadiran majelis Mujahidin. Tahun 20002002 di Majelis Mujahidin bahkan telah disusupi pihak intelijen nasional, dan menjadi pengurus Lajnah Tanfidziyah bidang hubungan antar Mujahid. Diketahuinya satu orang telah menyusup ke tubuh Majelis Mujahidin berkaitan dengan hilangnya “pengurus” ini tanpa sebab setelah kasus bom Bali. Setelah diusut, dicari-cari, akhirnya diketahuilah bahwa Mr. X, tersebut aslinya adalah seorang perwira militer. Namun karena majelis Mujahidin tidak pernah memiliki niat untuk melakukan bughat (memberontak) maka penyusupan itupun tak ada gunanya. Kalau yang ditemukan hanya aktivitas kajian-kajian, di luar Mujahidin banyak juga kajian, bahkan yang radikal dibandingkan dengan Mujahidin.
Yayasan Wakaf Paramadina
Yayasan Wakaf Paramadina adalah sebuah lembaga keagamaan (Islam) yang berkecimpung dalam kajian keagamaan dan sosial. Didirikan oleh Prof Dr Nurcholish Madjid pada tahun 1986 di Jakarta, lembaga ini bertujuan sebagai lembaga pendidikan dan pencerahan umat dan bangsa. Lembaga keagamaan ini mencoba memadukan antara Keislaman dan Keindonesiaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai Islam universal dengan tradisi lokal Indonesia. Yayasan Paramadina dirancang untuk menjadi pusat kegiatan keagamaan yang kreatif, konstruktif dan positif bagi kemajuan masyarakat, tanpa sikap-sikap defensif dan reaktif. Oleh karena itu program pokok kegiatannya diarahkan kepada peningkatan kemampuan menjawab tantangan zaman dan menyumbang tradisi intelektual yang terus menaik dalam masyarakat. Ini berarti pertaruhan pada kualitas dan otoritas ilmiah yang tinggi.
  • Salah satu artikel yayasan membahas tentang boleh/ tidaknya seorang muslim mendepositokan uangnya ke bank.
  • Yayasan juga mengembangkan dan merumuskan gagasan tentang fikih lintas agama yang dirampungkan dalam bentuk buku yang berjudul “Fiqih Lintas Agama”. Sebagai buku pertama yang secara spesifik membahas soal fikih hubungan antar umat beragama di Indonesia. Di dalam konsep fikih ini dibahas tema-tema yang terkait langsung dengan hubungan antaragama. Misalnya dibahas soal perkawinan antaragama, doa bersama, mengucapkan salam kepada nonmuslim, menghadiri dan mengucapkan selamat Natal, dan persoalan-persoalan yang terkait langsung dengan hubungan umat Islam dengan umat agama-agama lain.
Program pokok kegiatan berkisar pada meningkatkan dan menyebarkan faham keagamaan islam yang luas, mendalam dan bersemangat keterbukaan dengan titik berat kepada:
  • Pemahaman sumber-sumber ajaran Islam, khusunya proses pembentukannya.
  • Penyadaran tentang sejarah pemikiran Islam, suatu hubungan dialektik antara ajaran dan peradaban.
  • Apresiasi terhadap khazanah budaya dan peradaban Islam dari bangsa-bangsa Muslim.
  • Penanaman semangat non-sektarianisme dan pengembangan serta pemeliharaan "Ukhuwwah Islamiyah" yang berkonotasi dinamis dan kreatif.
  • Pendalaman dan perluasan studi komparatif madzhab-madzhab dan aliran-aliran dalam Islam, antara lain guna menghindari kecenderungan sikap anakronistik dan eksklusifistik.
  • Pengembangan sikap-sikap penuh toleransi dan apresiatif terhadap kelompok-kelompok agama lain untuk menciptakan masyarakat yang damai (salam) sebagaimana diajarkan oleh Islam.
·         Yayasan Paramadina pernah mendapatkan kontroversi karena menikahkan pasangan berbeda agama. Praktek ini di Indonesia tidak diperbolehkan. Kasus perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina, di awal 2005 dimana Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina banyak diperbincangkan.
·         Namun hal ini disanggah dalam surat resmi Machnan R Kamaluddin, Ketua Umum Yayasan Wakaf Paramadina dengan menyatakan bahwa Yayasan Paramadina bukan lembaga perkawinan.
Islam  Pasca Reformasi
Mundurnya Soeharto dari posisinya sebagai presiden RI pada 21 Mei 1998 manandai berakhirnya masa orde baru dan lahirnya suatu era baru yang disebut era reformasi. Reformasi keagamaan dikalangan islam telah berlangsung sebelum Soeharto  jatuh. Reformasi ini terjadi sejak pemerintahan soeharto memberikan dukungan yang nyata bagi perkembangan islam tanah air. Dukungan ini ditandai dengan sejumlah tindakan dan kebijakan rezim orde baru yang nenguntungkan islam, seperti
1.UU Peradilan Agama (UU No. 7 tahun 1989)
2.Kompilasi hokum islam berdasarkan intruksi presiden RI No. 1 tahun 1991
3.Sertifikasi dan lebelisasi halal
4.Lahirnya ikatan cendikiawan muslim se-Indonesia
Ditengah berkembangnya islam budaya, Soeharto jatuh dari posisinyasebagai presiden RI. Peristiwa ini menandai era baru yang memberikan kebebasan kepada rakyat dalam menentukan dirinya sendiri di segala bidang. Kebebasan di bidang politik terlihat pada lahirnya partai-partai yang jumlahnya lebih dari seratus. Tetapi kemudian yang memenihi syarat untuk mengikuti pemilu 1999 hanya 48 parpol. Dari 48 parpol yang mengikuti pemilu 1999 ada 19 partai yang dapat dikategorika sebagai partai islam. Berbeda dengan partai islam di masa lalu, partai islam era reformasi tidak mudah di identifikasian. Pada masa orde lama partai islam mudah dikenali dari namanya seperti Masjumi, Pesatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Nahdatul Ulama.
Partai yang lahir pada era reformasi tidak cukup hanya dilihat dari namanya , tetapi juga harus dari lambangnya. Jadi suatu partai disebut partai islam apabila pada namanya ada unsure islam. Krena itu misalnya Partai Indonesia Baru (PIB) disebut partai islam, karena pada lambangnyaterdapat tulisan ‘’Allahu Akbar’’ meskipun namanya tidak mengandung undur islam.

Ridwan april amsah




Tidak ada komentar:

Posting Komentar