Selasa, 26 April 2011

Teori Dependensi


Teori Dependensi
1. Sejarah Perkembangan Teori Dependensi.
Pendekatan teori dependensi pertama kali muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang telah dijalankan oleh Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin. (United Nation Economic Commission for Latin Amerika)ECLA?KEPBBAL) pada masa awal tahun 1960-an. Pada tahun 1950-an banyak pemerintahan di Amerika Latin, yang dikenal cukup “populis”, mencoba untuk menerapkan strategi pembangunan dari KEPBBAL yang menitik beratkan pada proses industrialisasi melalui program industrialisasi subsitusi impor (ISI). Dari padanya diharapkan akan memberikan keberhasilanyang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan hasil pembangunan, peningkatan kesejahtaraan rakyat, dan pada akhirnya akan memberikan suasana yang mendorong pembangunan politik yang lebih demokratis. Yang terjadi adalah sebaliknya, ekspansi ekonomi amat singkat, dan segera berubah menjadi stagnasi ekonomi.
Disamping itu, lahirnya teori dependensi ini juga dipengaruhi dan merupakan jawaban atas krisis teori Marxis ortodoks di Amerika Latin. Menurut pandangan Marxis ortodoks, Amerika Latin harus mempunyai tahapan revolusi industri “borjuis” sebelum melampaui revolusi sosialis proletar. Namun demikian Revolusi Repuplik Rakyat Cina (RRC) tahun 1949 dan revolusi Kuba pada akhir tahun 1950-an mengajarkan pada kaum cendikiawan, bahwa negara dunia ketiga tidak harus mengikuti tahapan-tahapan perkembangan tersebut. Tertarik pada model pembanguan RRC dan Kuba, banyak intelektual radikal di Amerika Latin berpendapat, bahwa negara-negara Amerika Latin dapat saja langsung menuju dan berada pada tahapan revolusi sosialis.
2. Asumsi dasar teori dependensi klasik.
v Keadaan ketergantungan dilihat dari satu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia ketiga. Teori dependensi berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan ketergantungan di Dunia Ketiga sepanjang perkembangan kapitalisme dari Abad ke-16 sampai sekarang.
v Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh “faktor luar”, sebab terpenting yang menghambat pembangunan karenanya tidak terletak pada persoalan kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan semangat wiraswasta, melainkan terletak pada diluar jangkauan politik ekonomi dalam negeri suatu negara. Warisan sejarah kolonial dan pembagian kerja internasional yang timpang bertanggung jawab terhadap kemandekan pembangunan negara Dunia Ketiga.
v Permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalir surplus ekonomi dari negara Dunia Ketiga ke negara maju. Ini diperburuk lagi kerena negara Dunia Ketiga mengalami kemerosotan nilai tukar perdagangan relatifnya.
v Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global. Disatu pihak, mengalirnya surplus ekonomi dari Dunia Ketiga menyebabkan keterbalakangannya, satu faktor yang mendorong lajunya pembangunan dinegara maju.
v Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan. Bagi teori dependensi, pembangunan di negara pinggiran mustahil terlaksana. Sekalipun sedikit perkembangan dapat saja terjadi dinegara pinggiran ketika misalnya sedang terjadi depresi ekonomi dunia atau perang dunia. Teori dependensi berkeyakinan bahwa pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak mungkin dalam situasi yang terus menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi ke negara maju.
3. Warisan pemikiran
a. KEPBBAL
Proses perumusan kerangka teori dari perspektif dependensi, yang pada mulanya merupakan paradigma pembangunan yang khas di Amerika Latin, berkaitan erat dengan KEPBBAL. Dengan apa yang dikenal sebagai “Manifesto KEPBBAL”, Prebisch ketua KEPBBAL, memberikan kritik tentang keusangan konsep pembagian kerja internasional (international division of labour/IDL). Menurut skema IDL, Amerika Latin akan memperoleh banyak keuntungan apabila di satu pihak, ia lebih memfokuskan pada upaya memproduksi bahan pangan dan bahan mentah yang diperlukan oleh negara-negara industri. Dilain pihak, negara-negara industrri tersebut menyediakan keperluan barang-barang industri yang dibutuhkan Amerika Latin (tentu juga kebutuhan barang industri negara pinggiran yang lain). Pada garis besarnya, Prebisch mengajukan gagasan dasar bahwa pembagian kerja internasional yang hanya menguntungkan negara industri harus dihentikan, dan Amerika Latin harus melakukan pembangunan industri untuk menjamin kebutuhan dalam negeri, disamping tetap memperhatikan dan menjaga, paling tidak untuk sementara, kemampuan ekspor bahan pangan dan bahan mentahnya.
Proses industrialisasi hendaknya dipercepat dengan cara memproduksi sendiri kebutuhan barang-barang dalam negeri untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali beban penyediaan devisa negara yang selama ini diperlukan untuk membayar impor barang-barang tersebut. Pada permulaannya, indusrei dala negeri harus dilindungi dan persaingan bebas barang-barang luar negeri dengan penetapan tarif barang impor yang tinggi dengan cara lainnya, tetapi jika kemampuannya bersaing telah meningkat dan dianggap sepadan, industri dalam negeri harus mampu bersaing tanpa adanya proteksi.
Sejak awal garis kebijaksanaan KEPPBBAL ini diterima dengan tidak antusias oleh Pemerintah Amerika Latin. Keengganan ini merupakan salah satu sebab mengapa KEPBBAL tidak mampu merealisasikan beberapa gagasan lainnya yang lebih radikal, diantaranya termasuk program pembagian tanah. Sayang program KEPBBAL ini tidak berhasil. Stagnasi ekonomi dan represi politik muncul dipermukaan pada tahun 1960-an. Dalam hal ini ditunjuk dan dijelaskan berbagai kelemahan dan kebijaksanaan industralisasi subsitusi impor (ISI) yang dijalankan oleh Amerika Latin. Daya beli masyarakat terbatas pada kelas sosial tertentu, pada pasar domestik ternyata tidak menunjukkan gejala ekspansi setelah kebutuhan barang dalam negeri tersedia. Ketergantungan terhadap impor hanya sekedar beralih dari barang-barang konsumsi ke barang-barang modal. Barang-barang ekspor konvensional tidak terperhatikan dalam suasana hiruk pikuk industrialisasi. Akibatnya adalah timbulnya masalah-masalah yang akut pada neraca pembayaran, yang muncul hampir bersamaan waktunya, disatu negara diikuti segera oleh negar yang lain. Optimisme pertumbuhan berganti depresi yang mendalam.
b. Neo-Marxisme
Teori dependensi juga memiliki warisan pemikiran dari neo-marxisme. Keberhasilan Revolusi RRC dan Kuba telah membantu tersebarnya perpaduan baru pemikiran-pemikiran Marxisme di universitas-universitas di Amerika Latin, yang kemudian menyebabkan lahirnya generasi baru, yang dengan lantang menyebut dirinya sendi dengan “Neo-Marxists”. Menutur Foster-Carter, neo-marxisme berbeda dengan Marxis ortodoks dalam beberapa hal sebagai berikut:
Ø Marxis ortodoks melihat imperialisme dari sudut pandang negara-negara utama (core countries), sebagai tahapan lebih lanjut dari perkembangan kapitalisme di Eropa Barat, yakni kapitalisme monopolistic, neo-marxisme melihat imperialisme dari sudut pandang negara pinggiran, dengan lebih memberikan perhatian pada akibat imperilalisme pada negara-negar dunia ketiga.
Ø Marxis ortodoks cenderung berpendapat tentang tetap perlu berlakunya pelaksanaan dua tahapan revolusi. Revolusi borjuis harus terjadi lebih dahulu sebelum revolusi sosialis. Marxis ortodoks percaya bahwa borjuis progresif akan terus melaksanakan revolusi borjuis yang tengah sedang berlangsung dinegara Dunia Ketiga dan hal ini merupakan kondisi awal yang diperlukan untuk terciptanya revolusi sosialis dikemudian hari. Dalam hal ini neo Marxisme percaya, bahwa negara Dunia Ketiga telah matang untuk melakukan revolusi sosialis.
Terakhir, jika revolusi soaialis terjadi, Marxisme ortodoks lebih suka pada pilihan percaya, bahwa revolusi itu dilakukan oleh kaum proletar industri di perkotaan. Dipihak lain, neo-Marxisme lebih tertarik pada arah revolusi Cina dan Kuba. Ia berharap banyak pada kekuatan revolusioner dari para petani di pedesaan dan perang gerilya tentara rakyat.
4. Implikasi kebijiaksanaan teori dependensi klasik
Secara filosofis, teori dependensi menghendaki untuk meninjau kembali pengertian “pembangunan”. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk diartikan sebagai sekedar proses industrialisasi, peningkatan keluaran (output), dan peningkatan produktivitas. Bagi teori dependensi, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk dinegara Dunia Ketiga. Dengan kata lain, pembangunan tidak sekedar pelaksanaan program yang melayani kepentingan elite dan penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan program yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan, para pencari kerja, dan sebagian besar kelas sosial lain yang dalam posisi memerlukan bantuan. Setiap program pembangunan yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan membebani mayoritas masyarakat tidaklah dapat dikatakan sebagai program pembangunan sebenarnya.
5. Perbandingan teori modernisasi dengan teori dependensi
Kedua teori ini berbeda dalam memberikan jalan keluar persoalan keterbalakangan negara Dunia Ketiga. Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori dependensi memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus menerus untuk mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.
Elemen perbandingan
Teori modernisasi klasik
Teori dependensi klasik
1.Persamaan fokus perhatian (keprihatinan).
· Pembangunan dunia ketiga.
o Sama.
2.Metode.
· Sangat abstrak.
· Perumusan model-model.
o Sama.
o Sama.
3.Dwi-kutub
struktur ekonomi.
· Tradisional dan modern.
· (maju).
o Sentral (metropolis).
o Pinggiran (satelit).
4.Perbedaan
warisan teoritis.
· Teori evolusi.
· Teori fungsionalisme.
o Program KEPBBAL.
o Marxis ortodoks.
5.Hubungan internasional.
· Saling menguntungkan.
o Merugikan negara dunia ketiga.
6.Masa depan
dunia ketiga.
· Optimis.
o Pesimis.
7.Kebijaksanaan pembangunan
(pemecahan masalah).
· Lebih mendekatkan keterkaitan negara maju.
o Mengurangi keterkaitan dengan negara sentral revolusi sosialis.
6. Hasil kajian teori dependensi klasik.
a. Tenaga teori depandensi klasik
Ketergantungan dan keterbelakangan Indonesia mencerminkan kerakteristik yang khas teori dependensi dalam usahanya menguji persoalan pembangunan Dunia Ketiga. Dari padanya diharapkan dapat dilihat secara lebih jelas dan karena itu dapat dicari kekuatan teori dependensi dalam mengarahkan pola pikir peneliti, para perencana kebijaksanaan, dan pengambil keputusan untuk mengikuti tesis-tesis yang diajukan. Dalam hal ini teori dependensi dibanding dengan dua pendekatan pokok yang lain. Namun lebih ditujukan untuk menggali sejauh mana tenaga yang dimiliki teori dependensi dalam mempengaruhi peta pemikiran persoalan pembangunan.
Nampaknya ketiga hasil kajian tersebut memiliki asumsi yang sama, yakni ketergantungan pembangunan yang terjagi di negara-negara tersebut disebabkan oleh faktor luar, yang tidak berada didalam jangkauan pengendaliannya, yang pada akhirnya posisi ketergantungan ini akan membawa akibat jauh berupa keterbelakangan pembangunan ekonomi.
b. Ketergantungan dan faktor luar.
Tenaga inti yang dimiliki oleh teori dependensi klasik dapat diketahui dari kemampuannya untuk mengarahkan peneliti dan pengambil keputusan untuk menguji sejauh mana dominasi asing telah secara signifikan mempengaruhi roda pembangunan nasional.
c. Ketergantungan ekonomi.
Dengan merumuskan ketergantungan sebagai akibat dari adanya ketimpangan nilai tukar barang dalam transaksi ekonomi, teori dependensi telah mampu mengarahkan para pengikutnya untuk lebih memperhatikan dimensi ekonomi dari situasi ketergantungan. Dalam hal ini, sekalipun teori dependensi sama sekali tidak mengesampingkan dimensi politik dan budaya, persoalan ini hanya dilihat sebagai akibat lanjutan dari dimensi ekonomi.
d. Ketergantungan dan pembangunan.
Teori dependensi klasik hampir secara ”sempurna” menguraikan akibat negatif yang harus dialami negara Dunia Ketiga sebagai akibat situasi ketergantungannya. Bahkan terkadang tarasa agak berlebihan, ketika teori dependensi menyebutkan bahwa hanya dengan menghilangkan sama sekali situasi ketergantungan, negara Dunia Ketiga baru akan mampu mencapai pembangunan ekonomi.
e. Kritik terhadap teori dependensi.
Sejak tahun 1970-an, teori dependensi klasik telah demikian banyak menerima kritik. Pada dasarnya kritik yang mereka ajukan mendasarkan diri pada ketidakpuasan mereka terhadap metode kajian, konsep, dan sekaligus implikasi kebijaksanaan yang selama ini dimiliki oleh teori dependensi klasik.
f. Metode pengkajian.
Teori dependensi menuduh ajaran teori modernisasi tidak hanya sekedar pola pikir yang memberikan pembenaran ilmiah dari ideologi negara-negara barat untuk mengeksploitasi negara dunia ketiga. Dalam menanggapai kritik ini, teori modernisasi membalas dengan tidak kalah garangnya, dengan menunjuk bahwa teori dependensi hanya merupakan alat propaganda politik dari ideologi revolusioner Marxisme. Baginya, teori dependensi bukan merupakan karya ilmiah, melainkan lebih merupakan pamflet politik
g. Kategori teoritis.
Teori dependensi menyatakan, bahwa situasi ketergantungan yang terjadi di Dunia Ketiga lahir sebagai akibat desakan faktor eksternal. Disinilah para penganut pola pikir neo-Marxisme mengarahkan kritiknya. Mereka menuduh, bahwa teori dependensi secara berlebihan menekankan pentingnya pengaruh faktor eksternal, dengan hampir melupakan sama sekali dinamika internal, seperti misalnya peranan kelas sosial dan negara.
h. Implikasi kebijaksanaan.
Sejak dari awal penjelasannya, teori dependensi telah secara tegas dan detail menguraikan akibat buruk dari kolonialisme dan pembagian kerja internasional. Teori ini berpendapat, selama hubungan pertukaran yang tidak berimbang ini tetap bertahan sebagai landasan hubungan internasional, maka ketergantungan negara dunia ketiga tetap tak terselesaikan. Oleh karena itu, teori dependensi mengajukan usulan yang radikal untuk mengubah situasi ketimpangan ini, yakni dengan revolusi sosialis.
Teori dependensi baru
a. Fase ketergantungan dinamis.
Pada masa krisis moneter dan krisis kepercayaan melanda bumi Indonesia tercinta banyak sekali permasalahan yang timbul akibat dari hal ini. Dampaknya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adalah makin meningkatnya jumlah angka kemiskinan yang seharusnya turun dengan adanya priogram-program yang dilaksanakan pemerintah bukan menjadi semakin terpuruk.
Hal itupun dirasakan oleh pemerintah Indonesia sebagai masalah baru yang harus diselesaikan secepatnya. Jika tidak kondisi atau keadaan akan semakin terpuruk dan akan menimbulkan kekacauan, konflik, tIndak kriminal, dan lain sebagainya.
Pada awal-awal terjadinya krisis moneter pemerintah Indonesia sangat bergantung sekali dengan pihak luar. Karena pemerintah harus membangun negara ini dari tahap yang terkecil hingga tahap yang terbesar. Kebijakan pemerintah pada saat itu adaLah dengan menerima bantuan dana dari IMF (International Monetary Foundation) berupa bantuan pinjaman dana yang harus dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
Setelah krisis moneter telah berlalu yang ditandai dengan membaiknya kondisi ekonomi dan segala aspek kegiatan di segala bidang serta hutang bantuan dana yang telah dilunasi, negara ini tetap masih mengantungkan perputaran roda pemerintahan ini kepada negara-negara luar. Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya investor asing yang menduduki peringkat atas dalam pemegang kekuasaan di industri-industri. Saham-saham yang dimiliki indonesia pun ada sebagian dijual kepiha asing misalnya, Indosat, HM Sampoerna, dan lain-lainnya. Hal ini, dapat membuktikan bahwa perekonomian negara ini masih bergantung dengan negara-negara asing, dalam ini mengenai penanaman dana investor untuk industri-industri di Indonesia, yang berakibat pemerintah Indonesia sangat sulit lepas dari ketergantungan.
b. Kekuatan teori dependensi baru
Teori dependensi baru telah mengubah berbagai asumsi dasar yang dimilki oleh teori dependensi klasik. Teori ini tidak lagi menganggap situasi ketergantungan sebagai suatu keadaan yang berlaku umum dan memilki karakteristik yang serupa tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Situasi ketergantungan juga tidak lagi semata disebabkan oleh faktor eksternal, lebih dari itu, teori dependensi baru ini tidak memberlakukan lagi situasi ketergantungan sebagai persoalan ekonomi yang akan mengakibatkan adanya polarisasi regional dan keterbelakangan, ketergantungan, menurut teori yang telah diperbaharui ini, lebih dikonsepkan sebagai sesuatu yang memiliki batas ruang dan waktu yang karenanya selalu memiliki ciri yang unik. Dengan kata lain, situasi ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan yang spesifik. Lebih dari itu, faktor internal memilki andil lahirnya suasana ketergantungan, dan karenanya ketergantungan juga merupakan persoalan politik sosial.
 
Dengan perubahan pendekatan seperti yang telah diuraikan, tidak heran jika teori dependensi baru ini telah melahirkan berbagai ketegori ilmiah baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh teori dependensi klasik seperti misalnya adalah ”pembangunan yang bergantung”, ”negara birokratik otoriter”, ”aliansi tiga kelompok” dan ”pembangunan yang dinamis”. Sebagai akibatnya, pengartian-pengartian baru ini telah mampu membantu membuka jendela untuk melihat persoalan baru, atau paling tidak dengan pisau analisa baru, yang pada gilirannya telah menghasilkan tidak sedikitnya karya penelitian baru yang menguji secra lebih teliti persoalan pembangunan dan ketergantungan di negara dunia ketiga.
Teori dependensi klasik
Teori dependensi baru
1.Persamaan
pokok perhatian
· Negara dunia ketiga
o Sama
2.Level analisa
· Nasional
o Sama
3.Konsep pokok implikasi
· Sentral-pinggiran
· Ketergantungan
o Sama
4.Kebijaksanaan
· Ketergantungan bertolak-belakang dengan pembangunan
o Sama
5.Perbedaan
metode
· Abstrak pola umum
· ketergantungan
o Historis-struktural situasi konkrit ketergantungan
6.Faktor pokok
· Eksternal kolonialisme dan ketidakseimbangan nilai tukar
o Internal negara dan konflik kelas
7.Ciri-ciri politik ketergantungan
· Fenomena ekonomis
o Fenomena sosial
8.Pembangunan dan
ketergantungan
· Bertolak-belakang
· Hanya menuju pada keterbelakangan
o Koeksistensi:
o Pembangunan yang bergantung

Pemberdayaan Masyarakat Di Lahan Gambut


Review Buku     : Pemberdayaan Masyarakat Di Lahan Gambut Bab 1 - Bab 4
Penyusun            : Sri Najiyati
Agus Asmana
I Nyoman N. Suryadiputra

BAB 1
Peran Ekosistem Lahan Gambut dan Permasalahannya
Masyarakat dilahan yang gambut mamiliki ekonomi yang rapuh. Namu ekosistem tersebut memiliki peran penting bagi lingkungan, terutama dalam mengendalkan perubahan iklim dunia. Oleh karenanya diperlukan konsep dan metode pemberdayaan bagi masyarakat di lokasi tersebut yang berorientasi pada upaya konservasi lahan gambut. Kita bahas sedikit tentang Lahan Gambut.
A.      Ekosistem Yang Unik
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penibunan/akumulasi bahan organic di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu yang lama. Gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organic lebih dari 65% (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m (Driessen, 1978)
Gambut adalah bahan yang tersusun dari bahan organic dengan ketebalan lebih dari 40 sampai 60 cm, tergantung dari berat jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya (Soil Texsomony). Sifat unik gambut dapat dilihat dari sifat kimia dan fisiknya. Sifat kimia gambut lebih tertuju pada kondisi kesuburanya yang bervariasi, tetapi secara umum ia memiliki kesuburan yang rendah. Hal ini ditandai dengan tanah yang masam (Ph rendah), ketersediannya berupa unsure hara makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) rendah, mengandung asam-asam organic beracun, serta memiliki Kapasitan Tukar Kation (KTK) yang tinggi tetapi Kejenungan Basa (KB) rendah.
B.      Ekosistem Yang Multifungsi
  1. Pengatur Hidrologi
Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga memiliki daya menyerap air yang sangat besar. Apabila jenuh, gambut saprik dan fibrik dapat menampung air berturut-turut sebesar 450%, 450%-850% dan lebih dari 850% dari bobot keringnya. Fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi dapat tergangu apabila menalami kondisi drainase yang berlebihan karena material ini memiliki sifat kering tak balik, porositas yang tinggi, dan daya hantar vertika yang rendah
  1. Sarana Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Gambut hanya terdapat di sebagian keci permukaan bumi. Jumlahnya sangat terbatas dan sifatnya yang unik dijadikan habitat unik bagi kehidupan flora dan fauna. Beberapa macan flora ternyata hanya bisa hidup di lahan gambut. Jadi apabila lahan gambut tersebut rusak maka dunia akan kehilangan berbagai jenis flora karena tidak mampu tumbuh di habitat lainnya. Di habitat ini pun terdapat satwa langka yang hidup seperti buaya sinyulong, harimau Sumatra, beruang madu, tapir, mentok rimba, dan bangau tongtong.
  1. Penjaga Iklim Global
Gambut memiliki unsur karbon (C) yang sangat besar. Menurut perhitungan Matby dan Imirizi (1993) dalam Daniel Murdiyarso dan Suryadiputra (2004). Kandungan karbon dalam lahan gambut didunia sebesar 329-525 Gt atau 35% dari total C dunia. Dengan demikian gambut memiliki peran penting dalam menjaga iklim dunia. Apabila gambut ini mengalami kerusakan, materi ini akan mengeluarkan C02, N02 dan CH4 ke udara dan bersiap akan adanya perubahan iklim dunia.
  1. Sarana Budidaya
Pemanfaatan lahan gambut sebagai sarana budidaya tanaman, peternakan dan perikanan sudah sejak lama dikenal oleh petani. Di Indonesia, budidaya pertanian dilahan gambut secara tradisional sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu oleh Suku Dayak, Bugis, Banjar dan Melayu dalam skala kecil.
BAB 2
Mengenal Budaya Masyarakat di Lahan Gambut
1.       Suku Dayak
Berdasarkan asal-usul dan kedangannya di Kalimantan, Suku dayak dapat dikelompokan menjadi 4 kelompok besar dan 2 kelompok kecil (Maunati, 2004). Suku tersebut adalah Punan, Murut, Iban, dan Kahayan. Meskipun terdiri dari sub-subsuku yang bervariasi, secara umum Suku Dayak, khususnya yang tinggal di pedalaman memiliki unsure budaya yang hamper sama. Homogenitas cultural dalam hal mata pencaharian dengan system perladangan, prinsip keturunan, upacara kematian dan agama asli berupa pemujaan kepada roh leluhu yang kemudian dikenal dengan nama “Agama Kahiringan”. Umumnya Suku Daya bermata pencaharian peladang, berburu, mencari ikan, kayu, dammar, rotan di hutan. Berladang di kerjakan secara berpindah tempat dan berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 12-20 orang.
Karakteristik budaya Dayak, terutama yang berada di pedalaman, ditandai oleh ikatan komunal yang kuat. Ikatan tersebut didasarkan pada keluarga dan keterikatan pada tanah leluhur. Bagi masyarakat Dayak, tanah tidak hanya dipandang sebagai tempat tinggal, melainkan juga sebagai kawasan yang memberikan kehidupan.
2.       Suku Banjar
Suku Banjar pada awalnya merupakanpercampuran antara suku Melayu, Maayan, Lawangan dan Suku Bukit. Orang Banjar memiliki mpbilitas yang cukup tinggi. Mereka tersebar hamper diseluruh Pulau Kalimantan dan ada pula yang tersebar di luar Kalimantan. Orang Banjra pada umumnya bekerja disektor perdagangan, jasa, dan petani. Sebagai petani, orang Banjar dapat dikatakan sebagai perintis budi daya di lahan rawa dengan membuat saluran-saluran yang disebut handil atau handel.
Pola perkampungan orang Banjar membentuk kelompok yang menghadap ke sungai. Rumah berbentuk panggung dan sebagian berada di atas sungai (rumah terapung). Dibeberapoa tempat rumah terapung juga di gunakan untuk memelihara itik.

BAB 3
Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat Dilahan Gambut
Pemberdayaan masyarakat dilahan gambut sangat penting artinya dalam menunjang keberhasilan konservasi lahan gambut. Setidaknya ada tiga pertimbangan yang dapat dikemukakan. Pertama, perberdayaan masyarakat gambut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dan kontribusi masyarakat dunia terhadap pelestarian ekosistem lahan gambut. Kedua, karena kemiskinan dan ketidak berdayaan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat dilahan gambut, seringkali menjadi sebab ketidak pedulian mereka terhadap kualitas lingkungan. Ketiga, upaya penyadaran dan penumbuhan motivasi untuk berpartisipasi dalam pelestarian lahan terbukti sulit dilakukan apabila kebutuhan dasar masyarakat masih belum terpenuhi.
A.      Tanggung Jawab Masyarakat Dunia
Lahan gambut memiliki fungsi social dan ekonomi yang tak mungkin dapat dielakan. Didalam kawasan lahan ini, terdapat masyarakat

BAB 4
Konsep Perberdayaan Masyarakat
A.     Pengertian dan Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Konsep pemberdayaan dikembangkan pertama kali pada tahun 1970-an yang bergulir dan mengalami berbagai penyesuaian. Konsep ini bersala di masyarakat Barat yang lahir karena adanya ketimpangan kekuasaan, dimana sebagian manusia sangat berkuasa.
Perberdayaan merupakan salah satu pendekatan untuk mengatasi persoalan kemiskinan, ketidakberdayaan, dan kerentanan masyarakat lemah. Pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai umpaya mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekanan disegala bidang dan sector pengalihan pengambilan keputusan kepada masyarakat agar mereka terbiasa dan mampu bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dipilihnya.
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat dilahan pertanian, tujuan pemberdayan tidak semata-mata peningkatan kesejaterahan rakyak. Ide dasar memberdayakan masyarakat gambut adalah terciptanya keseimbangan lingkungan antara keberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan. Pelestarian lingkungan dalam hal ini tidak semata-mata untuk mementingkan kepentingan masyarakat secara umum tetapi juga dimaksudkan bagi kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat dikawasan lahan gambut.
Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat dilahan gambut ditujukan untuk membagun kesadaran, motivasi, kompetisi dan kemandirian masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup dan pelestarian lingkungan.

B.      Prinsip-Prinsip Pemberdayaan
Terdapat empat prinsip yang sering digunakan untuk suksesnya program pemberdayaan.
1.      Kesetaraan
Prinsip utama yang harus dipegang dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah adanya kesetaraan atau kesejajaran antara masyarakat dan lembaga yang melakukan program-program pemberdayaan masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada dominasi diantara pihak tersebut. Dinamika yang dibangun adalah hubungan keseteraan dengan mengembangkan mekanisme berbagi pengetahuan, pengalaman serta keahlian satu sama lain.
Kesalahan yang sering terjadi dalam proses pemberdayaan adalah pendamping atau pelaksana kegiatan memposisikan dirinya sebagai guru yang serba tahu. Disisi lain masyarakat diposisikan sebagai murid yang harus diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan dengan cara mendengarkan yang disampaikan dan melaksanakan  apa yang diperintahkan. Dalam banyak hal masyarakat justru yang memiliki kemampuan yang cukup banyak tentang daerahnya, karena merekalah yang selama ini hidup, mengenali dan merasakan permasalahan yang terjadi didesanya. Hal ini biasa disebut “kearifan local” (indigenous wisdom).
Kesalahan lain  yang juga sering terjadi adalah anggapan bahwa pemberdayaan cukup dilakukan oleh lelali saja karena merekalah kepala rumah tangga yang menentukan kebijakan, pengambilan keputusan, dan penanggung jawab keluarga. Sedangkan perempuan selaku ibu rumah tangga hanya dipegang sebagai figure yang menurut pada kata kepala rumah tangga.
2.      Partisipatis
Dalam praktek, pemerintah dan praktisi pemberdayaan masyarakat belum bersedia sepenuhnya memberikan kesempatan dan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih dan merumuskan kebutuhanya (Ndraha, 1990). Mereka terjebak pada keinginan untuk sesegeram mungkin melihat hasil pemberdayaan secara fisik. Sementara itu, masyarakat dibebani target untuk mencapai kemajuan yang sangat cepat tampa memperhitungkan kemampuanya. Tenaga pendamping yang melakukan kegiatan peberdayaan melihatnya sebagai tugas kelembagaan yang penuh dengan nuansa control yang ketat.
Dengan pendekatan semacam itu, perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat seolah-olah dilakukan secara efisien, namun sesungguhnya kemandirian masyarakat tidak tumbuh secara sehat. Itulah sebabnya sering ditemukan proyek-proyek yang dibiayai pemerintah kurang terpelihara dan kurang dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya, proyek-proyek yang swadaya murni yang direncanakan , dibiayai dan dilaksanakan pleh masyarakat jarang terbengkalai.
3.      Keswadayaan
Banyak program pengembangan masyarakat yang memanifestasikan strategi membagi-bagi bantuan secara Cuma-Cuma dari pada penumbuhan kemampuan masyarakat untuk mandiri dalam upaya membangun dirinya sendiri.
Prinsip keswadayaan adalah menghargai dan mengedepankan kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain. Konsep ini tidak memandang orang miskin sebagai objek yang tidak berkemampuan, melainkan sebagai subjek yang memiliki kemampuan serba sedikit.
4.      Berkelanjutan
Program pemberdayaan perlu dirancang untuk keberlanjutan, sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan disbanding masyarakat sendiri. Tetapi secara perlahan dan pasti, peran pendamping akan segera berkurang, bahkan akhirnya dihapus, karena masyarakat telah mampu mengelola kegiatannya sendiri.







Dinamika Desa dalam Tinjauan Sejarah dan kebijakan Pembangunan di Indonesia


Dinamika Desa dalam Tinjauan Sejarah dan kebijakan Pembangunan di Indonesia


A. Transformasi dan perubahan sosial masyarakat pedesaan.

     Pembangunan atau pengembangan pedesaan sangat di perlukan untuk Indonesia karena sebagian besar penduduk Indonesia, yaitu sebesar kurang lebih 60%, melakukan pertanian sebagai mata pencaharian, dan mereka tinggal di pedesaan. Pembangunan atau pengembangan pedesaan ('rural development), menurut Mosher (Mosher, 1969, h. 91), dapat mempunyai tujuan: 1. Pertumbuhan sektor pertanian, 2. Integrasi nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negeri kedalam pola utama kehidupan yang sesuai, 3. Keadilan ekonomi, yakni bagaimana pendapatan itu dibagi - bagi kepada seluruh penduduk.
Menurut Fellmann pengertian pembangunan atau pengembangan (Fellmann & Getis, 2003, h. 357) adalah:
1.                  mengubah sumber daya alam dan manusia suatu wilayah atau negeri sehingga berguna dalam produksi barang
2.                 melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi, dan perbaikan, dalamtingkat produksi barang (materi) dan konsumsi.
Menurut Ilmu Geografi, wilayah pedesaan terdiri atas teritorium (alam) dan penduduk (manusia) serta kebudayaannya. Pada tahun 1992, di Indonesia terdapat kurang lebih 62.000 desa dan kelurahan, dan pada tahun 2000 ada kurang lebih 67.000 serta pada tahun 2003 terdapat 72.000 desa dan kelurahan. Dan mungkin sekarang jumlahnya lebih banyak lagi karena adanya pemekaran desa. Menurut Widjaya desa-desa yang sengaja dimekarkan/dipecah sehingga menurut pengamatan di lapangan ditemukan desa-desa baru dengan hanya 21 keluarga (KK) , terutama di luar Jawa.
Maksud pembangunan desa adalah menghilangkan atau mengurangi berbagai hambatandalam kehidupan sosial - ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin. Salah satu hambatan tersebut adalah tidak meratanya kepemilikan tanah. Misalnya , pada tahun 1973, di Nepal (Misra, 1981, h. 233-237), 63%  dari keluarga petani kecil hanya memiliki 10,6% dari seluruh tanah pertanian, sedangkan 17,6% dari keluarga petani besar memiliki 71,50%. Di Indonesia hal seperti initidak terjadi karena terdapat batas maksimum kepemilikan tanah. Sasaran program pembangunan desa adalah untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi keluarga petani sehingga mereka mendapat kesejahteraan yang berarti terpenuhi kebutuhan material (makanan, minuman, pakaian, alat-alat) dan spiritual(pendidikan, agama, keamanan, kepercayaan terhadap diri sendiri) dengan layak. Untuk mencapai hal itu, sebagian keluarga petani memerlukan bantuan untuk meningkatkan kemampuannya sebagai petani, dan sebagian lagi memelukan mata pencaharian diluar sektor pertanian. Bantuan itu dapat berupa:
1.      peningkatan pendidikan dan keterampilan
2.      pemberian penuluhan
3.       usaha mengubah mata pencaharian, jika pendapatan dari hasil pertanian tidak dapat ditingkatkan.
4.      perluasan dan perbaikan usaha tani
5.      mengikutsertakan keluarga petani dalam kegiatan msyarakat dan kegiatan kelembagaan.
Jadi, dalam pembangunan desa, menurut Mosher (Mosher, 1969, h.91), yang menjadi tujuan utama bukan pertumbuhan pertanian saja, tetapi peningkatan kualitas hidup para petani yang sebagian bergantung pada pendapatan keluarga dan sebagian lagi bergantung pada hal-hal lain.
Fungsi pembangunan disini adalah dengan adanya perubahan pada masyarak desa itu sendiri. Sasrodiharjo (1972) dengan mengambil setting masyarakat Jawa, munculnya kelas-kelas pemasaran di Jawa mengakibatkan terjadinya perubahan dalam struktur masyrakat, yang akhirnya merubah status dan kedudukan anggota masyarakat. Dalam pemikirang Marx pengasaan alat produksi merupakan saluran bertindak yang vital bagi kelas pengusaha, hal ini dapat diterapkan pada masyarakat yang alat produksinya sempurna. Sedangkan pada masyrakat yang alat produksinya belum sempurna sangat tergantung penguasaan pemasaran.
Sejarah menunjukan bahwa kerajaan-kerajaan Jawa telah ada gejala perubahan pemasaran antara golongan yang satu dengan golongan yang lain. Pada zaman Majapahit, pemasaran bahan-bahan penting dikuasai oleh kerajaan meskipun tidak langsung. Pegawai negara dan para pujangga tidak diperkenankan berdagang sendiri tetapi dari tanah jajahan ditarik upeti dan pajak.
Sasrodiharjo menggambarkan munculnya kelas pemasaran di Jawa dalam empat fase : (1) permulaan abad ke-20, (2) zaman sekitar Malaise dan menjelang perang dunia ke 2, (3) zaman pendudukan Jepang, (4) zaman kemerdekaan. Pada permulaan abad ke 20 komunitas tionghoa menguasai pasar kelas menengah terutama dalam industi batik yang bahan bakunya di impor dari Eropa. Disisi lain pengusaha timur asing juga menguasai harga jual yang mereka tawar lebih rendah sehingga terjadi persaingan pemasaran yang tidak seimbang. Kondisi ini mendorong timbulnya gerakan protes yang dimotori oleh SDI terhadap sistem pemasaran yang dikuasai oleh pengusaha pemasaran kelas menengah.
Pada zaman Malaise dan menjelang PD II, petani merupakan golongan konsumen yang paling menderita karena turunnya harga riil dari produksi yang dihasilkan. Pemerintah Hindia-Belanda menekan daya beli petani, sehingga dapat mengunakan tenaga petani sebgai tenaga kerja murah. Diperkotaan pemerintah Hindia-Belanda melakukan penghematan dan pengurangan pegawai negeri. Akibatnya banyak kaum terpelajar yang menganggur dan kemudia menjadi pedagang. Dalam kontek ini dapat kita lihat adanya bentuk perubahan yang terjadi dalam struktur  masyarakat.
Fase ketiga zaman pendudukan Jepang. Bagi petani produsen zaman Jepang lebih menguntungkan dari pada zaman Belanda. Sebab Jepang hanya meminta pajak in natura berupa padi yang dirasa lebih mudah oleh petani dari ada dalam bertukang. Namun bagi mereka yang tidak memiliki tanah, justru mendapatkan masalah baru karena mereka harus menebusnya dengan diikutkan dalam romusha, sehingga mereka terjebak dari kemiskinan.
Fase terakhir adalah masa kemerdekaan. Perubahan yang menyolok disini adalah dalam struktur pemerintahan desa, khususnya di Yogyakarta. Semua pamong desa yang buta huruf diberhentikan dan digantikan dengan orang-orang yang bisa membaca dan menulis. Disisi lain adanya beberapa perubahan, antara lain : dihapuskannya penyetoran padi, berubahnya sistem pemilihan kepala desa dengan pola demokrasi yang dipilih langsung oleh rakyat. Perkembangan selanjutnya adalah mudahnya pengaruh luar masuk ke masyarakat melalui berbagai inovasi teknologi sepertinya diterimanya berkembangnya pemakaian kendaraan bermotor (scooter) yang mendorong terciptanay pemasaran baru.
Referensi
1. Sosiologi Pedesaan karya Prof. Dr. H. Syamsir Salam, MS. dan Amir Fadhilah, S.Sos., M.Si
2. Pembangunan Desa Dalam Perencanaan karya Johara T. Jayadinata dan I.G.P. Pramandika