Senin, 28 Maret 2011

Mengamalkan Tasawuf dalam Kehidupan Modern..RDWAPRILAMSAH


Mengamalkan Tasawuf dalam Kehidupan Modern
BAB I
PENDAHALUAN
1.LATAR BELAKANG


Kemajuan zaman modern memberikan dampak tersendiri dalam kehidupan manusia. Ada bagian yang positif, namun juga dampak negatif yang tidak kalah mendominasi. Bukan berarti kemajuan zaman modern adalah sesuatu yang buruk, namun persepsi tiap individu menghadapi hal seperti ini berbeda-beda. Hal itu menjadi semakin rumit karena tidak setiap manusia mampu beradaptasi dengan baik dengan dunia modern. Akhirnya, muncullah penyimpangan, kemerosotan dan ketidakpastian dalam menjalani hidup yang mengakibatkan manusia semakin tidak bernilai.

Namun sangat beruntung bagi umat manusia –khususnya umat Islam- akhlak tasawuf datang dengan konsep yang rapi dan telah teruji sebagai salah satu alternatif agar manusia mampu keluar dari kegalauan dan penyimpangan itu. Akhlak tasawuf merupaka salah satu khazanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan.

2. TUJUAN PENULISAN
Adapun beberapa tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
  1. Memenuhi makalah tugas mandiri mata kuliah Akhlak Tasawuf.
  2. Mengetahui pengertian Masyarakat Modern.
  3. Membahas tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern.




 



BAB  II
LANDASAN TEORI


A. PENGERTIAN MASYARAKAT MODERN

Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W. J. S. Poerwadarminta mengartikan masyarakat sebagai pergaulan hidup manusia. Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.

Masyarakat modern selanjutnya sering disebut sebagai lawan dari masyarakat tradisional. Deliar Noer misalnya, menyebutkan ciri-ciri masyarakat modern sebagai berikut:

a. Bersifat rasional, lebih menekankan akal daripada emosi.

b. Berfikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.

c. Menghargai waktu, yakni menganggap waktu sebagai sesuatu yang bernilai dan perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.

d. Bersifat terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan
perbaikan dari manapun datangnya.

e. Berfikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari segi fungsi dan kegunaan bagi masyarakat.

Dalam hal ini, Alfin Toffler, sebagai dikemukakan Jalaludin Rahmat, membagi masyarakat ke dalam tiga bagian. Pertama, Masyarakat Pertanian (agricultural society), kedua Masyarakat Industry (industrial society), dan yang ke tiga Masyarakat Informasi (informatical society).


B. PROBLEMATIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN

“Revolusi Teknologi” atau yang terkadang dikaitkan dengan revolusi industri lahir dari sebuah perkembangan zaman. Revolusi ini telah menjadi titik awal dimana mayoritas manusia meningkatkan kontrol pada materi, ruang dan waktu. Selain itu juga menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola fikir dan sistem rujukan. Dalam kaitan ini terdapat tiga keadaan dalam mensikapi revolusi industri, yaitu kelompok yang optimis, pesimis dan pertengahan antara keduanya.
Bagi kelompok yang optimis, revolusi teknologi justru menguntungkan, seperti yang dikatakan Ziauddin Sardar. Menurutnya, revolusi teknologi yang sekarang sedang dijajakan sebagai suatu rahmat besar bagi umat manusia. Penjajanya yang agresif di televisi, surat-surat kabar, dan majalah-majalah begitu menarik. Pada lingkungan yang terpelaajar, lain lagi caranya, yaitu di dalam jurnal-jurnal penelitian dan buku-buku akademis. Disebutkan bahwa revolusi informasi akan menyebabkan timbulnya desentralisasi, dan karena itu akan melahirkan suatu masyarakat yang lebih demokratis.

Sementara itu bagi kelompok yang pesismis memandang kemajuan di bidang teknologi akan memberikan dampak yang negatif, karena hanya akan memberikan kesempatan dan peluang kepada orang-orang yang dapat bersaing saja, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan, ekonomi, kesempatan, kecerdasan dan lain-lain. Sementara bagi mereka yang terbelakang, akan tetap menjadi terbelakang.

Penggunaan teknologi dalam bidang pertanian misalnya, akan menyebabkan keuntungan bagi mereka, para petani yang memiliki modal saja. Sedangkan bagi yang tidak memiliki modal semakin menghadapi masalah yang serius. Lapangan kerja yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja, sudah mulai ditangani oleh teknologi yang hemat tenaga kerja, akibatnya terjadilah pengangguran.
Disisi lain, kelompok yang mengambil sikap antara optimis dan pesimis terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mengatakan bahwa, iptek itu positif atau membahayakan pada pengangguran, inflasi dan pertumbuhan, tergantung pada cara orang mengelolanya, tanpa harus ditangguhkan, dan demi kepentingan kerjasama dan perdamaian. Dalam kaitan ini menarik sekali apa yang dikemukakan seorang Sosiolog Prancis, Jacques Ellul yang mengatakan bahwa kemajuan dalam bidang teknologi akan memberikan pengaruh sebagai berikut:
a. Semua kemajuan teknologi menuntut pengorbanan, yakni dari satu sisi teknologi memberikan nilai tambah, tapi pada sisi lain dapat mengurangi.

b. Nilai-nilai manusia yang tradisional misalnya, harus dikorbankan demi efisiensi.
c. Semua kemajuan teknologi lebih banyak menimbulkan masalah daripada pemecahan.
d. Efek negatif teknologi tidak dapat dipisahkan dari efek positif,nya. Teknologi tidak pernah netral. Efek negatif dan positif terjadi serentak dan tidak terpisahkan.

e. Semua penemuan teknologi mempunyai efek yang tidak terduga.

Sikap manakah dari ketiga sikap yang dikermukakan di atas itu yang akan diambil? Itu semua tergantung pada cara pandang dan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Bagi umat Islam yang selalu diajarkan bersikap adil terhadap berbagai masalah, tampaknya sikap yang pertengahan yang perlu diambil. Yaitu berupa sikap yang dari satu sisi mau menerima dan memanfaatkan kemajuan di bidang iptek, sedangkan pada sisi lain kita berusaha menjaga agar iptek tidak disalahgunakan.

Kehadiarn Ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern. Diantaranya:

1. Desintegrasi Ilmu Pengetahuan

Kehidupan modern ditandai oleh adanya spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma (cara pandang) nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang menghadapi masalah lalu ia pergi kepada kaum teolog, ilmuan, politisi, sosiolog, ahli biologi, psikolog dan lain-lain. maka jawaban yang ia dapatkan akan berbeda satu sama lain. Bahkan terkadang jawaban tersebut sering bertolak belakang. Inilah yang akan membuat manusia kebingungan.

2. Kepribadian Yang Terpecah (Split Personality)

Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak. Ini akan menyebabkan manusia menjadi pribadi yang terpecah (split personality). Kehidupan manusia modern diatur menurut rumus ilmu ynag eksak dan kering. Akibatnya, kini tengah menggelinding proses hilangnya kekayaan rohaniah.
Jika proses keilmuan yang berkembang itu tidak berada di bawah kendali agama. Maka proses kehancuran pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan berlangsungnya proses tersebut, semua kekuatan yang lebih tinggi untuk meningatkan derajat kehidupan manusia akan musnah. Sehingga, tidak hanya kehidupan kita yang mengalami kemerosotan, tetapi juga kecerdasan dan moral kita.

3. Penyalahgunaan Iptek

Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikatan spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan penjajahan suatu bangsa atau bangsa lain, subversi dan lain-lain. Kemampuan dibidang rekayasa genetika diarahkan untuk tujuan jual-beli manusia. Kecanggihan dibidang teknologi komuniasi dan lain-lain telah menghancurkan umat manusia.
4. Pendangkalan Iman

Sebagai akibat lain dari pola pikiran keilmuan yang disebut diatas, khususnya ilmu-ilmu yang hanya mengakui fakta-fakta yang bersifat empiris menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu. Bahkan informasi yang dibawa oleh wahyu itu menjadi bahan tertawaan dan diannggap tidak ilmiah dan kampungan.


5. Pola Hubungan Materialistik

Semangat persaudaraan dan rasa saling tolong-menolong yang didasarkan atas panggilan iman sudah tidak tampak lagi. Pola hubungan satu dan lainnya ditentukan oleh seberapa jauh antara satu dan lainnya dapat memberikan keuntungan yang bersifat material.
Demikian pula penghormatan yang diberikan seseorang atas orang lain banyak diukur oleh sejauh mana orang tersebut dapat memberikan manfaat secara materialis. Akibatnya ia menempatkan perimbangan material diatas pertimbangan akal sehat, hati nurani, kemanusiaan dan imannya.

6. Penghalalan Segala Cara

Sebagai imbas atas pola hidup yang matelialis dan dangkalnya iman seseorang, maka seseorang akan mengedepankan segala yang sekiranya mampu memenuhi kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini adalah dengan menghalalkan segala cara tanpa memikirkan dampak spiritual bagi dirinya sendiri.

7. Stress dan Frustasi
Kehidupan modern yang demikian kompleks menggiring manusia untuk mengarahkan seluruh fikiran, tenaga, kemampuan. mereka terus bekerja dan memenuhi hasrat tanpa mengenal batas dan waktu. Dampaknya, mereka begitu mendewakan sesuatu yang bersifat duniawi. Dan ketika segala yang mereka gagal, mereka cenderung tertekan dalam dinaamika zaman.
Hal buruk lainnya, karena dari awal mereka tidak mempunyai pegangan yang jelas maka ketika hancurpun mereka tetap tidak memiliki pegangan yang bisa di jadikan dasar. Sehingga nantinya mereka akan frustasi akan segala hal buruk yang menimpa mereka.

8. Kehilangan Harga Diri dan Masa Depannya
Terdapat sejumlah orang yang terjerumus dan salah memilih jalan. Masa mudanya dihabiskan untuk menuruti hawa nafsu dan segala daya dan cara telah ditempuhnya. Ada suatu saat diaman ia sudah tua renta. Secara fisik sudah tak lagi berdaya. Tenaga sudah tidak mendukung lagi untuk beraktifitas. Manusia yang demikian ini akan merasa kehilangan harga diri dan masa depannya. Kemana ia harus berjalan? ia tidak tahu. Mereka perlu bantuan dari kekuatan yang berada di luar dirinya. Dan hal Itu adalah bantuan dari Tuhan.


C. MENGAMALKAN AKHLAK TASAWUF PADA KEHIDUPAN MODERN

Kehidupan masyarakat saat ini sedang berkembang menuju kepada peradaban masyarakat modern. Kehidupan tersebut biasanya ditandai dengan kompetisi yang tinggi. Pada dasarnya kompetisi itu baik karena dapat memacu setiap orang dan kelompok masyarakat untuk berusaha meraih kemajuan. Hanya saja yang menjadi masalah adalah saat kompetisi itu terkadang berlangsung secara curang karena setiap orang dan kelompok sosial mempunyai niat baik untuk berkompetisi secara sehat. Ditambah lagi, masyarakat dunia saat ini sedang dilanda krisis global.
     
Pada masa krisis global ini, pertumbuhan angkatan kerja tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan kerja dan sumber ekonomi. Hal ini dapat mendorong terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam memperebutkan lapangan kerja dan sumber ekonomi itu. Oleh karena itu, diperlukan aturan hukum yang tegas dan jelas agar kompetisi itu dapat berlangsung secara sehat. Lebih dari itu, diperlukan sentuhan hati nurani mereka yang bersaing supaya kompetisi tidak mematikan solidaritas dan toleransi kepada sesama.
     
Walaupun kompetisi itu berlangsung sesuai hukum yang berlaku, tetapi tanpa sentuhan hati nurani kompetisi itu dapat mematikan solidaritas dan toleransi kepada sesama. Padahal di tengah krisis global ini, di mana banyak orang yang hidupnya terpuruk, solidaritas menjadi faktor yang amat penting untuk menopang kehidupan masyarakat agar tidak lebih terpuruk lagi.
     
Solidaritas dan toleransi itu dapat ditumbuhkan dengan pengembangan dimensi esoteris agama, yang di dalam Islam disebut tasawuf. Dalam tasawuf terdapat ajaran tentang zuhud, sabar, dan itsar. Zuhud berarti sederhana, tidak rakus pada harta dan kekuasaan. Orang yang zuhud (zahid) tidak akan berkompetisi secara curang karena dapat merugikan orang lain dan dilarang oleh Tuhan.
     
Kemudian sabar berarti menahan diri, maksudnya menahan diri dari keluh kesah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Tetapi nilai sabar juga dapat diterapkan dalam kehidupan sosial, seperi menahan diri dari keluh kesah dalam menghadapi kesulitan hidup karena krisis atau kalah bersaing dengan orang atau kelompok sosial lain.
   
Sedangkan itsar berarti mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Sepintas lalu nilai itsar tidak mengenal kompetisi karena kompetisi mengandung nilai yang kebalikannya, yaitu mendahulukan diri sendiri daripada orang lain. Padahal, maksudnya adalah tidak boleh bersaing hanya untuk kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain, apalagi mematikan orang atau kelompok sosial lain. Jadi, kompetisi itu harus diarahkan untuk kepentingan bersama. Bersaing untuk kemajuan bersama diperintahkan, sesuai dengan firman Allah, “Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”(Al-Maidah:48).
     
Dengan demikian, tasawuf memiliki ajaran yang relevan dengan kehidupan masyarakat modern yang kompetitif. Yakni mendorong untuk bersaing tetapi pada waktu yang sama meletakkan dasar-dasar ajaran yang mengingatkan supaya kompetisi itu tidak berkembang secara curang, apalagi sampai mematikan solidaritas dan toleransi kepada sesama. Sebab persaingan curang itu dapat meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bersama dan peradaban manusia.
    
 Di satu sisi, kompetisi itu perlu untuk memacu pengembangan diri dan kelompok dalam kehidupan masyarakat. Makin maju suatu masyarakat, maka makin tinggi pula tingkat kompetisinya. Sebaliknya, masyarakat yang kurang maju, maka tingkat kompetisinya juga rendah.
     
Namun harus disadari bahwa kompetisi itu bukan untuk kemajuan orang per orang atau kelompok sosial tertentu saja tetapi untuk kemajuan bersamaan. Oleh karena itu, kompetisi dalam masyarakat modern harus diimbangi dengan nilai-nilai solidaritas dan toleransi.
  
Toleransi diperlukan bagi orang dan kelompok sosial yang bersaing. Mereka bersaing tidak hanya karena kepentingan ekonomi dan  politik yang berbeda, tetapi juga karena perbedaan-perbedaan yang bersifat primordial, seperti agama, suku, dan daerah.
 Perbedaan daerah, suku, agama terkadang membuat persaingan itu semakin tajam dan tidak sehat. Parahnya, perbedaan kepentingan ekonomi dan politik sering kali diangkat sebagai pertentangan yang bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), seperti yang pernah terjadi di Poso, Maluku Sulawesi Tengah dan Sampit Kalimantan Tengah.
     
Konflik yang bernuansa sara di daerah itu boleh jadi akan berakhir, tetapi perbedaan agama dan suku tidak mustahil akan mempertajam persaingan dalam perkembangan masyarakat modern.
     
Itulah perlunya toleransi agar perbedaan suku dan agama itu tidak mempengaruhi persaingan yang seharusnya berkembang secara sehat. Kalau kompetisi itu tidak sehat, maka tidak saja akan menghambat masyarakat menjadi masyarakat modern, tetapi malah bisa meruntuhkan kemajuan yang telah dicapai, seperti terjadinya konflik sara di daerah tersebut.
    
Selain toleransi, solidaritas juga diharapkan berkembang untuk mengimbangi kompetisi. Sebab dalam kompetisi itu ada orang atau kelompok yang kalah atau tidak bisa bersaing karena lemah dalam segala hal, seperti modal, keterampilan, dan jauh dari sumber kekuasaan. Mereka seharusnya diberikan perhatian, tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga orang-orang dan kelompok sosial yang lebih maju karena mereka yang tidak dapat bersaing jumlahnya jauh lebih banyak daripada mereka yang memiliki kemampuan bersaing.
   
Krisis global yang sedang dialami saat ini menyebabkan banyak orang yang hidupnya terpuruk, tidak saja kehilangan harta tetapi juga kehilangan daya saing. Mereka memerlukan bantuan agar bisa bangkit lagi dan kemudian bersaing dengan mereka yang telah maju. Dengan demikian, masyarakat modern yang hendak dituju di masa depan adalah masyarakat yang kompetitif, yang diimbangi dengan solidaritas dan toleransi. Toleransi dan solidaritas bertumpu pada hati nurani, sebagaimana yang diajarkan dalam tasawuf. Ajaran tasawuf ini tidak hanya berlaku bagi orang Islam, tetapi juga bagi siapa saja karena toleransi dan solidaritas merupakan nilai-nilai yang bersifat universal.
     
Hanya saja, kalau orang itu muslim, tentu saja harus mengacu kepada ajaran tasawuf yang menumbuhkan solidaritas dan toleransi, seperti zuhud, sabar, dan itsar. Kelompok-kelompok lain tentu juga mempunyai acuan sendiri dalam menumbuhkan solidaritas dan toleransi. Apapun acuannya, toleransi dan solidaritas harus dikembangkan karena itulah nilai yang menopang kehidupan bangsa menuju masyarakat modern yang kompetitif di masa depan.
     
 Tidak ada masyarakat yang dapat berkembang maju dan langgeng tanpa memiliki solidaritas dan toleransi. Sebab masyarakat itu adalah kumpulan orang-orang yang ingin hidup bersama dan maju bersama pula sehingga kalau tidak ada solidaritas dan toleransi dalam masyarakat, maka tidak ada lagi nilai-nilai yang menopang kebersamaan itu. Akibatnya adalah keruntuhan dan bukan kemajuan. Masyarakat yang sudah lebih dahulu modern dan maju telah mempraktekkan kompetisi dalam kehidupan masyarakatnya dan memiliki mekanisme untuk membantu orang-orang yang kurang beruntung.
   
  Berdasarkan realita yang ada sekarang ini, maka beberapa hal yang menjadi urgensi tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern dapat kita simpulkan, yaitu krisis global yang terjadi saat ini, kompetisi yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat modern, dan faktor yang menjadi akibat dari krisis dan kompetisi yang terjadi, seperti faktor psikologi, spiritual, dan kecerdasan emosional dari suatu masyarakat.
   
  Salah satu dampak yang sangat signifikan dari krisis global dan pengaruh kompetisi dalam suatu masyarakat adalah ketidaktenangan jiwa setiap individu. Krisis global yang menyebabkan banyak masyarakat terpuruk dan mengakibatkan gangguan psikologi yang mempengaruhi kehidupan spiritual dan kecerdasan emosional setiap individu, serta kompetisi yang berlangsung begitu ketat mengakibatkan hal yang serupa dengan pengaruh krisis global yang terjadi.
   
  

Bagi kalangan yang tidak mampu, maka kemiskinan dan pengangguran menjadi faktor pendorong substansi tasawuf diterapkan di dalam kehidupan mereka. Sedangkan bagi kalangan yang cukup mampu, maka berkompetisi dengan cara yang sehat dan ingin mendapatkan ketenangan jiwa serta kehidupan yang normal menjadi faktor pendorong substansi tasawuf diterapkan di dalam kehidupan mereka.
     
Sebagai contoh, seorang pengusaha yang berkompetisi dengan kompetitornya akan mendapatkan tekanan psikologi di saat kompetitornya mengalahkannya. Maka di saat seperti inilah substansi dari tasawuf menjadi penting di dalam kehidupan seorang pengusaha tersebut. Sabar menjadi kata kunci dari sebuah kekalahan berkompetisi. Sabar merupakan salah satu ajaran dari tasawuf yang menekankan kepada menahan emosi untuk berbuat sesuatu hal yang berlebihan.
     
Contoh lain, seorang miskin di DALAMkehidupan modern, akan merasa dirinya tidak berguna karena tidak dapat memperoleh kesenangan dan kemajuan di zaman yang penuh dengan kompetisi. Maka dari itu, substansi tasawuf dalam contoh ini adalah merasa cukup atau puas. Jika seorang miskin sudah merasa cukup, maka dia tidak lagi memikirkan hal-hal yang berlebihan di luar jangkauan mereka.
     



BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan

Masyarakat modern adalah lawan dari masyarakat tradisional dimana segala aspek dalam kehidupan masyarakat berkembang sangat pesat. Kemudian lahirnya revolusi yang disebut sebagai “Revolusi Teknologi” yang mengedepankan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola fikir dan sistem rujukan. Dalam kaitan ini terdapat tiga keadaan dalam mensikapi revolusi industri, yaitu kelompok yang optimis, pesimis dan pertengahan antara keduanya.

Akhlak tasawuf menganjurkan umat manusia untuk memilih jalan tengah (antara optimis dan pesimis) agar tidak tertinggal dan masih menerapkan sistem yang lama dianut kebenarannya. Akhlak tasawuf juga hadir sebagai sarana dalam mengentaskan masalah-masalah yang timbul dalam dunia modern. contoh beberapa masalah tersebut adalah stess, kehilangan harga diri, masa depan dan lain-lain. Ini semua akan teratasi dengan baik asalkan manusia mampu dan mau menerapkan akhlak tasawuf dalam kehidupannya.



REFERENSI

Nata, Abuddin. 1997. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Amin, Ahmad. 1983. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: PT Bulan Bintang
Nasr, Husein. 1985. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus
Poerwadarminta, W. J. S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

http://www.blogger.com/img/icon18_email.gif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar