BAB I
DASAR ESENSIAL TENTANG TAUHID dan SYIRIK
1. Membuang Jauh-Jauh Kemusyrikan Merupakan Asas Dakwah Para Nabi
Pokok utama setiap dakwah para nabi dan rasul sepanjang masa ialah menyeru manusia agar menujukkan ibadah hanya kepada allah yang maha esa, seraya menjauhkan diri dari menujmukannya kepada apa yang dan siapa pun selainnya.
Tauhid dalam ibadah, serta pembebasan diri dari belenggu kemusyrikan dan keberhalaan, merupakan yang terpenting diantara risalah-risalah para nabisedemikian pentingnya seolah-olah para nabi dan rasul tidak lah diutus demi satu sasaran saja, yaitu memperkukuh pondasi tiang-tiang pancang tauhid serta pemberantasan kemusyrikan
2. Asal Mula Tumbuhnya Kemusyrikan dan Keberhalaan
Amat sulit memberikan uraian tentang akar-akar keberhalaan, asal mula penyimpangan akidah ini, serta pertumbuhannya dikalangan manusia. Apalagi mengingat persoalan keberlaan ini bukan hanya terbatas pada satu atau dua bangsa, tidak pula dalam satu dua bentuk, ataupun satu atau dua daerah. Hal ini tentu membuat sulit pengajuan pendapat yang pasti tentangnya atau tentang pertumbuhannya.
Keberhalaan dikalangan bangsa arab jahiliah misalnya, berbeda dengan keberhalaan di kalangan bangsa india yang di anut oleh agama hindu. Kepercayaan-kepercayaandalam agama-agama dan bangsa-bangsa ini, yang berkaitan dengan kemusyrikan sangat berbeda sedemikian, sehingga sulit menggambarkan kadar yang dimiliki berasama oleh masing-masing dari mereka
3. Membatasi “Tauhid dalam Ibadah” kepada allah,,,
Maksud dari hal ini adalah menunjukkan ibadah hanya kepada allah, sang pencipta alam semesta. Menghindarkan diri dari beribadah kepada selainnya, mengingat bahwa segala sesuatu selainnya adalah makhluknya semata-mata. Tauhid jenis ini adalah lawan dari Syirik dalam ibadah yaitu perbuatan seseorang yang menunjukkan ibadah kepada makhluk apapun disebabkan alasan-alasan tertentu, kendatipun ia di waktu yang sama mempercayai keesaan tuhan pencipta alam raya ini. Menurut para pengikut aliran wahabi hal ini dinamakan “Tauhid Uluhiyah”, sementara tauhid dzat allah, mereka namakan “Tauhid Rubbubiyah” kedua istilah ini sangatlah keliru, seperti yang kita ketahui tentang arti uluhiyah tidaklah identik dengan ma'budiyah dimana ma'budiyah ini sifat yang menjadikan sesuatu menjadi di sembah atau di tunjukkan kepada nya. Pada hakikatnya, kata “illah” dan “allah” adalah sama, dalam asal kata dan pengertiannya. Hanya saja yang pertama (illah) mengandung makna yang kulliy (luas, universal), sedangkan yang kedua (allah) adalah suatu nama khas yang menunjuk kepada satu diantara berbagai makna kulliy yang terkandung dalam kata illah. Adapun kata rububiyah berarti sifat sebagai pntadbir dan penguasa terhadap alam raya, tidak sama dengan khaliqiyah (sifat sebagai pelaku dan penciptaan), kendatipun “pentadbiran” itu sendiri, menurut dalil-dalil filsafat, tidak terlepas sama sekali dari makna “penciptaan”. Bahkan seharusnya, kita menggunakan tauhid uluhiyah untuk menyatakan tentang “Tauhid Zat Allah”. Juga, bahwa ucapan La ilaha illallah berarti “tidak ada sesuatu pun yang disebut tuhan dalam bentuk apa dan bagaimanapun juga, kecuali allah”
4. Penyebab-penyebab Timbulnya Kemusyrikan dalam Ibadah
Di bawah ini disebutkan tida diantara penyebab-penyebab timbulnya kemusrikan dalam ibadah:
A. Kepercayaan akan adanya lebih dari satu pencipta
Kaum penyembah berhala dan orang-orang lainnya seperti mereka, yang mempercayai adanya dua atau tiga tuhan (atau lebih), terpaksa oleh kepercayaannya itu untuk memuja (beribadah kepada) lebih dari satu tuhan. Dalam agama budha, tuhan yang azali dan memanifestasikan dirinya dalam tiga tuhan atau tiga bentuk dengan nama-nama sebagai berikut:
- Brahma, tuhan pencipta
- Wisnu, tuhan pemelihara
- Shiwa, tuhan penghancur
Dalam agama Nasrani dikenal tiga nama:
- Bapa
- Putra
- Roh kudus
Dalam agama Zoroaster, disamping Ahura Mazda, masih ada lagi dua tuhan, yaitu:
- Yazdan
- Ahrman
(meskipun perlu dicatat bahwa kepercayaan menganut Zoroaster tentang dua tahun yang disebut terakhir diliputi oleh kesamaran).
Bagaimanapun juga kepercayaan akan adanya lebih dari satu zat ilahi merupakan salah satu penyebab timbulnya penyembahan terhadap selain Allah serta “syirik dalam ibadah”.
B. Anggapan tentang jauhnya al-Khaliq dari Makhluk-nya
Penyebab kedua adanya ibadah kepada selain Allah ialah anggapan tentang jauhnya allah dari makhluknya, dalam arti bahwa allah tidak mendengar ucapan mereka, dan tidak sampai kepadanya segala doa dan permohonan mereka. Karena itu, mereka memilih berbagai wasilah (perantara) yang diperkirakan dapat mewakili dalam menyampaikan doa-doa mereka.
Al-Quran al-karim membatalkan pengertian-pengertian dan pemikiran-pemikiran seperti ini dengan berbagai penjelasan yang menyatakan bahwa allah lebih dekat daripada segala yang dekat, mendengar segala rahasia bisikan dan ucapan mereka dan bahwa pengetahuannya meliputi percakapan mereka, yang terucapkan ataupun tetap tersimpan dalam hati
C. Pelimpahan wewenang pentadbiran kepada tuhan-tuhan kecil
Dalam hati kecilnya, manuisa merasakan khudhu' (ketundukan) tertentu kepada suatu kekuatan tertinggi, supaya menganggapdirinya kecil sekali dihadapan kekuatan seperti itu. Perasaan fitri seperti ini, meskipun tidak terungkap dengan lisan dan anggota tubuh lainnya, selalu bersamaan jauh dalam hati sanubarinya dalam bentuk perasaan khudu dari kepasrahan. Akan tetapi, mengingat bahwa mereka tidak mampu menyaksikan tuhan-tuhan yang mereka ciptakan dalam benak mereka, mereka pun memperkirakan baginya bentuk-bentuk khayali, lalu memahat patung-patung yang mereka buat itu sesuai bentuk-bentuk yang mereka visualisasikan. Kemudia mereka sembah patung-patung yang mereka buat itu sebagai ganti kekuatan-kekuatan ghaib yang di gambarkan oleh patung-patung tersebut.
Sampai disini telah kami jelaskan tiga penyebab penyekutuan allah dalam ibadah. Namun penyebab-penyebab yang dikecam oleh al-quran al-karim merupakan dasar tumbuhnya kemusrikan serta penyebarannya di seluruh dunia.
5. Pembagian Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah
Para penulis dari karangan wahabi selalu menyatakan adanya dua jenis tauhid, yang pertama mereka menamakan “Tauhid Rububiyah” dan kedua “Tauhid Uluhiyah”. Mereka juga menyatakan bahwa “Tauhid Rububiyah”, yaitu mempercayai keesaan al-khalik (sang pencipta) saja, tidak cukup meliputi tauhid yang dibawa oleh para nabi pada umumnya dan rasul terbesar Muhammad SAW pada khususnya, untuk dimantapkan dan disebarluaskan dalam masyarakat-masyarakat manusia. Di samping Tauhid Rububiyah ada pula “Tauhid Uluhiyah” yaitu dengan mengkhususkan allah saja dalam hal ibadah, dan tidak menyekutukannya dengan beribadah kepada selainnya.
6. Bukan setiap Khudhu' adalah Ibadah
Para ahli bahasa arab menafsirkan kata ibadah sebagai ketaatan, khudhu' dan tadzallul, ataupun menunjukkan sikap merendah yang sangat, namun semua devinisi ini pada hakikatnya hanya merupakan penafsiran dengan makna yang lebih umum. Sebab tat, khudhu', dan menampakkan sikap tahallul tidak identik dengan ibadah.
7. Memisahkan makna yang Hakiki dari yang Majazi
Adakalanya kata “Ibadah” dan lainnya, yang berasal dari akar kata ‘abada, digunakan untuk berbagai makna, sesuai dengan bahasa dan kebiasaan. Akan tetapi, penggunaan suatu kata untuk suatu makna tertentu, tidak berarti bahwa hal tersebut mencakup semua makna sebenarnya dari kata aslinya.
BAB II
Devinisi Hakikat Ibadah
Ibaadah adalah sikap tunduk patuh dan merendah kepada sesuatu yang dipercayai memiliki sifat-sifat ketuhanan (uluhiyah/rububiyah) serta kemandirian penuh dalam segala perbuatanya. Kata ibadah mempunyai pengertian (mafhum) amat jelas, sama jelasnya seperti kata-kata air atau tanah. Meskipun demikian tidak mudah mendefinisikannya betapapun dekat kehadiran pemahamannya dalam pikiran.
1. Tiga Devinisi Ibadah
Pertama, ibadah ialah khudhu (tunduk, patuh khidmat) dalam ucapan maupun perbuatan, yang timbul dari kepercayaanpada sifat ketuhanan (uluhiyah) yang dimili oleh siapa yang ditujukan khudhu kepadanya.
Kedua, ibadah ialah khudhu (tunduk, patuh khidmat) dihadapan siapa yang dipercayai sebagai memiliki sesuatu dari urusan-urusan kemajudandan hidup-mati si pelaku khudhu, sekarang dan dimasa mendatang.
Ketiga, ibadah ialah khudhu seseorang yang melihat dirinya tidak bebas dan mandiri sepenuhnya dalam kewujudan dan perbuatannya di dalam sesuatu yang bebas mandiri sepenuhnya.
2. Apa yang dimaksud dengan Tafwidh?
Telah menjadi kesepakatan orang menegaskan Allah SWT, bahwa kepercayaan (i'tiqad) adanya tafwidh (pelimpahan wewenang Allah sepenuhnya kepada mkhluknya) dapat mengakibatkan seseorang menjadi musyrik, dan bahwa khudhu yang bersumber pada kepercayaan seperti ini termasuk ibadah kepada yang ditujukan khudhu tersebut kepadanya. Tafwidh dapat digambarkan menjadi dua bagian
1. Tafwidh atau penyerahan sepenuhnya wewenang penciptaan dan pengelolaan alam semesta ini oleh allah kepada sebagian dari hamba-hambanya yang baik-baik seperti malaikat, nabi-nabi dan wali-wali. Tafwidh jenis ini disebut tafwidh takwini
2. Tafwidh atau penyerahan wewenang urusan-urusan khusus illahiyah kepada hamba-hambanya, seperti urusan legislatif, penetapan hukum serta urusan pengampunan dan syafaat, yang kesemuanya itu adalah urusan-urusan khusus Allah SWT. Tafwidh jenis ini disebut tafwidh tasyri'i.Arti penyerahan wewenang (tafwidh) seperti ini tidak lain adalah bahwa mereka itu bersifat mandiri sepenuhnya dalam perbuatan-perbuatan mereka, terlepas sama sekali oleh allah SWT dalam segala yang mereka lakukan atau inginkan.
BAB III
HAKIKAT TAUHID DAN SYIRIK MENURUT KAUM WAHABI
1. Apakah I'tikad tentang dimilikinya kekuatan ghaib oleh selain allah merupakan tolak ukur tauhid dan syirik?
Apabila kepercayaan tentang kemampuan ghaib seperti itu mengandung I'tikad bahwa hal itu berdasarkan izin dari allah serta kekuatan yang bersumber dari-Nya, maka yang demikian itu tak ubahnya seperti kekuatan lahiriyah dan materil diatas yang, apabila seseorang percaya kepadanya tidak dapat dianggap seolah-olah telah terjerumus kedalam syirik. Sebab allah SWT telah memberikan kekuatan fisik kepada seseorang, dia pula lah yang telah memberikan kekuatan ghaib kepada yang lainnya, tanpa menganggap orang tersebut sebagai al-khaliq, ataupun membayangkan adanya seseorang yang bebas mandiri sepenuhnya tak butuh kepada siapa pun, termasuk kepada allah SWT.
2. Apakah adanya penyebab yang bisa dan yang luar biasa merupakan tolak ukur Tauhid dan syirik?
Beberapa orang sufi dan darwisy telah menggambarkan qutb-qutb dan guru-guru terikat mereka secara keterlaluan sehingga mencapai batas yang syirik. Dengan hal itu mereka telah menumbuhkan bats-batas tauhid dan syirik, serta melampaui ukuran-ukurannya. Hal tersebut tampak jelas dalam syair-syair pujian yang mereka tujukan kepada guru-guru mereka tersebut. Dalam kebanyakan syair seperti itu banyak tercium bau syirik tersembunyi (syirik kafiiy), bahkan yang terang-terangan (syirik jaliy). Syair-syair seperti itu tak syak lagi ttidak selaras dengan dasar-dasar tauhid Qurani, kendatipun sebagian dari mereka menjauhkan syair-syair dan unkapan-ungkapan itu dari lingkkungan syiriik. Pada hakikatnya seorang muwahhid (yang menganut paham tauhid) tak sepatutnya, bahkan tak boleh sekali-kali, terucap melalui lisannya ungkapan-ungkapan yang tidak seiring sejalan dengan tauhid islami Qurani yang jelas sisi-sisinya dan terang benderang jalannya.
Seandainya pengartian syirik dan tauhid benar-benar seperti yang dipahami dan dikartakan oleh kaum wahabi, sudah tentu kita tak mungkin lagi menyebut seseorang manapun di bawah kolong langit ini dengan sebutan muwahhid (yakni yang mentauhidkan allah SWT). Tak seorang pun berhak menyandang sifat tersebut.
3. Apakah kehidupan atau kematian orang yang dimintai pertolongan berpengaruh dalam pengartian tauhid dan syirik?
Tidak diragukan lagi bahwa kegotongroyongan dan saling menolong diantara umat manusia merupakan asas kehidupan. Sejarah peradaban manusia adalah hasil upaya-upaya kemanusiaan yang bersumber pada kegotongroyongan dan pembagian tanggung jawab serta pemanfaatan timbal-balik dari daya usaha manusia. Al-Quran penuh dengan contoh tentang perbuatan tolong-menolong diantara umat mausia, seperti dalam firman Allah SWT:
“Maka orang yangdari golongannya (yakni golongan musa) meminta pertolongan kepada musa untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya, lalu musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu” (QS 8:15 )
Dengan demikian, permintaan tolong dari seseorang kepada seseorang lainnya merupakan fakta dalam kehidupan manusia, dan dibenarkan diantara semua bangsa. Meskipun demikian. Kaum wahabi melakukan perincian dalam hal ini yang mereka anggap sebagai garis pemisah yang wajar antara tauhid dan syirik.
4. Apakah kemampuan an tidak kemampuan berkaitan dengan batas-batas tauhid dan syirik?
Mungkin dapat di tarik kesimpulan dari ucapan-ucapan kaum wahabi akan adanya tolak ukur lainnya berkenaan dengan syirik dalam ibadah, yaitu “adanya kemampuan atau ketidakmampuan orang yang dimintai pertolongan untuk merealisasikan kebutuhan yang diminta”. Jadi apabila seseorang meminta kepada orang lain sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh allah, maka perbuatan tersebut adalah ibadah dan syirik. Dalam ungkapan ini ia membuat tolak ukur lain lagi untuk syirik, yatu adanya kemampuan yang dimintai atau ketidakmampuannya untuk memenuhi permintaan si peminta.
BAB IV
AKIDAH-AKIDAH KAUM WAHABI
Siapa saja yang mempelajari buku-buku karangan kaum wahabi, dan hidup di tengah-tengah mereka, akan melihat tuduhan syirik adalah sesuatu yang senantiasa diulang-ulang dalam tulisan-tulisan, ucapan-ucapan, pidato-pidato mereka setiap kali seseorang bergerak menoleh ke kanan atau ke kiri, ia akan segera mendengar dari mereka tuduhan sebagai seorang musyrik dan perbuatannya adalah bid'ah, dan karena itu dia sendiri adalah mubtadi (pelaku bid'ah). Sedemikian rupa sehingga apabila tolak ukur syirik adalah seperti yang mereka sebutkan dalam buku-buku dan pidato-pidato mereka, niscaya tak banyak diantara kaum muslimin yang dicatat dalam kelompok kaum Muwahhidin (yakni mereka yang berakidah tauhid).
Berikut adalah seju,lah perntnyaan yang dilontarkan kepada kaum wahabi:
1. Apakah meminta penyembuhan kepada selain allah adalah syirik?
Tak diragukan lagi bahwa alam jagad raya ini adalah alam yang teratur. Mengingat pula bahwa sebab-sebab dan lantaran-lantaran ini tidak memiliki kesempurnaan apapun yang ada pada dirinya sendiri, bahkan ia tercipta dengan kehendak allah SWT dan memiliki pengaruh dengan iradat-Nya, sebagaimana dapat dibenarkan pula apabila dinisbahkan kepada sebab-sebab dan lantaran-lantaran itu sendiri.
Inilah yang telah dijelaskan seelum ini degan sejelas-jelasnya. Dan dengan itu dapat dinyatakan bahwa kesembuhan adakalanya kepada sebab-sebabnya dan berpengaruh terhadapnya, dangan izin allah.
2. Apakah meminta syafaat dari selain allah adalah syirik?
Tak sedikitpun diragukan bahwa syafaat adalah hak khusus Allah SWT. Semua ini di sepakati diantara kaum muslimin. Akan tetapi yang menjadi persoalan ialah tentang meminta syafaat dari orang yang di beri Hak bersyafaat. Misalnya: jika seorang berkata “Ya Rasulullah, bersyafaatlah untuk kami”. Apakah yang demikian itu syirik apa bukan?
Kami kini hanya ingin menegaskan kembali bahwa jawaban atas pertanyaan seperti itu telah menjadi jelas dalam pembahasan-pembahasan yang lalu. Yaitu seandainya kita ber-i'tikad bahwa orang-orang yang kita mintai syafaat berhak untuk bersyafaat bagi siapa saja yang mereka kehendaki, kapan dan dengan cara apa pun, tanpa kembali kepada izi illahi atau merasa tak perluuntuk itu, maka dapat dipastikan bahwa permintaan syafaat seperti ini merupakan ibadah kepada orang yang dimintai. Dan atas dasar itu, orang yang memintanya telah jadi musyrik dan menyimpang dari ajaran tauhid, disebabkan mereka telah meminta sesuatu yang berupa perbuatan dan urusan khusus allah dari selainnya.
Secara ringkas, terwujudnya syafaat dari mereka memerlukan dua hal, yakni orang yang memberikan syafaat harus memperoleh izin untuk bersyafaat, dan orang yang disyafaatkan baginya haruslah orang yang di ridhai oleh Allah SWT. Maka seandainya seorang muslim berkata kepada salah seorang dari kalangan shalihin: “Bersyafaatlah kepada allah untukku”, yang demikian itu memenuhi persyaratan yang tadi.
Sesungguhnya persoalan syirik dan tauhid sama sekali tidak dikaitkan dengan pendapat kita (manusia), sehingga boleh saja secara leluasa kita melukiskan suatu perbuatan sebagai syirik, sementara yang lainnya tauhid, yang ini musyrik, sedangkan yang itu muwahhid! Cukuplah Al-Quran sebagai neraca yang paling praktis dalam banyak ayatnya.
Inilah akhir dari apa yang ingin kami kemukakan dalam resume ini sekitar neraca tauhid dan syirik dalam Al-Quran al-Karim. Kami berharap semoga allah melimpahkan manfaat dengan atas kaum muslimin, dan semoga resume ini merupakan satu langkah menuju persatuan mereka serta pendekatan antar kelompok mereka. Amiiin...
Wassalam,