Dinamika Desa dalam Tinjauan Sejarah dan kebijakan Pembangunan di Indonesia
A. Transformasi dan perubahan sosial masyarakat pedesaan.
Pembangunan atau pengembangan pedesaan sangat di perlukan untuk Indonesia karena sebagian besar penduduk Indonesia, yaitu sebesar kurang lebih 60%, melakukan pertanian sebagai mata pencaharian, dan mereka tinggal di pedesaan. Pembangunan atau pengembangan pedesaan ('rural development), menurut Mosher (Mosher, 1969, h. 91), dapat mempunyai tujuan: 1. Pertumbuhan sektor pertanian, 2. Integrasi nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negeri kedalam pola utama kehidupan yang sesuai, 3. Keadilan ekonomi, yakni bagaimana pendapatan itu dibagi - bagi kepada seluruh penduduk.
Menurut Fellmann pengertian pembangunan atau pengembangan (Fellmann & Getis, 2003, h. 357) adalah:
1. mengubah sumber daya alam dan manusia suatu wilayah atau negeri sehingga berguna dalam produksi barang
2. melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi, dan perbaikan, dalamtingkat produksi barang (materi) dan konsumsi.
Menurut Ilmu Geografi, wilayah pedesaan terdiri atas teritorium (alam) dan penduduk (manusia) serta kebudayaannya. Pada tahun 1992, di Indonesia terdapat kurang lebih 62.000 desa dan kelurahan, dan pada tahun 2000 ada kurang lebih 67.000 serta pada tahun 2003 terdapat 72.000 desa dan kelurahan. Dan mungkin sekarang jumlahnya lebih banyak lagi karena adanya pemekaran desa. Menurut Widjaya desa-desa yang sengaja dimekarkan/dipecah sehingga menurut pengamatan di lapangan ditemukan desa-desa baru dengan hanya 21 keluarga (KK) , terutama di luar Jawa.
Maksud pembangunan desa adalah menghilangkan atau mengurangi berbagai hambatandalam kehidupan sosial - ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin. Salah satu hambatan tersebut adalah tidak meratanya kepemilikan tanah. Misalnya , pada tahun 1973, di Nepal (Misra, 1981, h. 233-237), 63% dari keluarga petani kecil hanya memiliki 10,6% dari seluruh tanah pertanian, sedangkan 17,6% dari keluarga petani besar memiliki 71,50%. Di Indonesia hal seperti initidak terjadi karena terdapat batas maksimum kepemilikan tanah. Sasaran program pembangunan desa adalah untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi keluarga petani sehingga mereka mendapat kesejahteraan yang berarti terpenuhi kebutuhan material (makanan, minuman, pakaian, alat-alat) dan spiritual(pendidikan, agama, keamanan, kepercayaan terhadap diri sendiri) dengan layak. Untuk mencapai hal itu, sebagian keluarga petani memerlukan bantuan untuk meningkatkan kemampuannya sebagai petani, dan sebagian lagi memelukan mata pencaharian diluar sektor pertanian. Bantuan itu dapat berupa:
1. peningkatan pendidikan dan keterampilan
2. pemberian penuluhan
3. usaha mengubah mata pencaharian, jika pendapatan dari hasil pertanian tidak dapat ditingkatkan.
4. perluasan dan perbaikan usaha tani
5. mengikutsertakan keluarga petani dalam kegiatan msyarakat dan kegiatan kelembagaan.
Jadi, dalam pembangunan desa, menurut Mosher (Mosher, 1969, h.91), yang menjadi tujuan utama bukan pertumbuhan pertanian saja, tetapi peningkatan kualitas hidup para petani yang sebagian bergantung pada pendapatan keluarga dan sebagian lagi bergantung pada hal-hal lain.
Fungsi pembangunan disini adalah dengan adanya perubahan pada masyarak desa itu sendiri. Sasrodiharjo (1972) dengan mengambil setting masyarakat Jawa, munculnya kelas-kelas pemasaran di Jawa mengakibatkan terjadinya perubahan dalam struktur masyrakat, yang akhirnya merubah status dan kedudukan anggota masyarakat. Dalam pemikirang Marx pengasaan alat produksi merupakan saluran bertindak yang vital bagi kelas pengusaha, hal ini dapat diterapkan pada masyarakat yang alat produksinya sempurna. Sedangkan pada masyrakat yang alat produksinya belum sempurna sangat tergantung penguasaan pemasaran.
Sejarah menunjukan bahwa kerajaan-kerajaan Jawa telah ada gejala perubahan pemasaran antara golongan yang satu dengan golongan yang lain. Pada zaman Majapahit, pemasaran bahan-bahan penting dikuasai oleh kerajaan meskipun tidak langsung. Pegawai negara dan para pujangga tidak diperkenankan berdagang sendiri tetapi dari tanah jajahan ditarik upeti dan pajak.
Sasrodiharjo menggambarkan munculnya kelas pemasaran di Jawa dalam empat fase : (1) permulaan abad ke-20, (2) zaman sekitar Malaise dan menjelang perang dunia ke 2, (3) zaman pendudukan Jepang, (4) zaman kemerdekaan. Pada permulaan abad ke 20 komunitas tionghoa menguasai pasar kelas menengah terutama dalam industi batik yang bahan bakunya di impor dari Eropa. Disisi lain pengusaha timur asing juga menguasai harga jual yang mereka tawar lebih rendah sehingga terjadi persaingan pemasaran yang tidak seimbang. Kondisi ini mendorong timbulnya gerakan protes yang dimotori oleh SDI terhadap sistem pemasaran yang dikuasai oleh pengusaha pemasaran kelas menengah.
Pada zaman Malaise dan menjelang PD II, petani merupakan golongan konsumen yang paling menderita karena turunnya harga riil dari produksi yang dihasilkan. Pemerintah Hindia-Belanda menekan daya beli petani, sehingga dapat mengunakan tenaga petani sebgai tenaga kerja murah. Diperkotaan pemerintah Hindia-Belanda melakukan penghematan dan pengurangan pegawai negeri. Akibatnya banyak kaum terpelajar yang menganggur dan kemudia menjadi pedagang. Dalam kontek ini dapat kita lihat adanya bentuk perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat.
Fase ketiga zaman pendudukan Jepang. Bagi petani produsen zaman Jepang lebih menguntungkan dari pada zaman Belanda. Sebab Jepang hanya meminta pajak in natura berupa padi yang dirasa lebih mudah oleh petani dari ada dalam bertukang. Namun bagi mereka yang tidak memiliki tanah, justru mendapatkan masalah baru karena mereka harus menebusnya dengan diikutkan dalam romusha, sehingga mereka terjebak dari kemiskinan.
Fase terakhir adalah masa kemerdekaan. Perubahan yang menyolok disini adalah dalam struktur pemerintahan desa, khususnya di Yogyakarta. Semua pamong desa yang buta huruf diberhentikan dan digantikan dengan orang-orang yang bisa membaca dan menulis. Disisi lain adanya beberapa perubahan, antara lain : dihapuskannya penyetoran padi, berubahnya sistem pemilihan kepala desa dengan pola demokrasi yang dipilih langsung oleh rakyat. Perkembangan selanjutnya adalah mudahnya pengaruh luar masuk ke masyarakat melalui berbagai inovasi teknologi sepertinya diterimanya berkembangnya pemakaian kendaraan bermotor (scooter) yang mendorong terciptanay pemasaran baru.
Referensi
1. Sosiologi Pedesaan karya Prof. Dr. H. Syamsir Salam, MS. dan Amir Fadhilah, S.Sos., M.Si
2. Pembangunan Desa Dalam Perencanaan karya Johara T. Jayadinata dan I.G.P. Pramandika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar