ILMU DAKWAH
DAKWAH RAHMATAN LIL ALAMIN
1. Pengertian
Dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin sesuai dengan arti etimologisnya Islam berarti “damai” dan rahmatan lil ‘alamin berarti “kasih sayang bagi semesta alam”, maka dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin yang berarti dakwah dengan menghadirkan Islam yang mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi semua umat manusia di muka bumi.[1]
Dakwah juga berarti penyebaran rahmat (cinta kasih) pada sesama makhluk seluruh alam. Karena Allah menurunkan agama Islam ini sebenarnya merupakan wujud cinta kasih-Nya, agar manusia hidupnya didunia baik dan selamat diakhirat.[2] Dengan tauhid manusia akan merdeka, tidak terbelenggu oleh kepercayaan yang aneh-aneh, yang tidak masuk akal. Dengan diperintah mencari rezeki manusia akan hidup berkecukupan. Dengan diperintah untuk membaca dan belajar manusia akan menjadi pandai dan lain sebagainya. Dakwah diperintahkan agar orang-orang yang tidak didakwahi itu selamat dari siksa neraka. Maka agama Islam itu merupakan wujud kasih sayang Allah kepada ummat manusia. Karena itu dalam berdakwah harus dilandasi dengan cinta kasih untuk menyelamatkan manusia.
Rahmatan lil Alamin sendiri bertujuan buat mereka yang belum Islam ataupun non Islam bahwa apa yang dibawa nabi muhammad adalah wahyu asli dari Allah yang mengajak mereka kembali kepada Islam agama tauhid atau menyembah pada satu Tuhan bukan tri tunggal atau dewa-dewa yang mereka reka reka tanpa ada dasar yg membenarkan.[3]
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)2. Dakwah Pembebasan
Yang dimaksud dakwah pembebasan disini ialah aktifitas dakwah yang bertujuan membebaskan ummat yang belum terdakwahi dari segala bentuk kebatilan, ketidak adilan, serta segala hal yang dibenci Allah dan Rasulnya supaya kembali kejalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam.
Islam mengandung ajaran atau petunjuk tentang bagaimana membebaskan diri dari keterbelengguan terhadap alam, materi dan budaya atau tradisi. Bagaimana membebaskan diri dari kebodohan, bagaimana melepaskan diri dari kebekuan berpikir, bagaimana melepaskan diri dari kemalasan. Sejarah menginformasikan kepada kita bagaimana Islam pada masa Rasulullah saw. telah membebaskan bangsa Arab dari belenggu tradisi dan kepercayaan. Mereka dibebaskan dari kepercayaan dan ketergantungan kepada Lat, Uzza dan Manata yang syirik itu dan menjadi kaum muwahiddin, yang hanya mengesakan Allah saja.
Selain itu dibebaskan dari belenggu kemusyikan, masyarakat Arab juga dibebaskan dari tradisi perbudakan, yaitu menghilangkan perbudakan dan menempatkan semua orang dalam kehidupan yang bebas, merdeka. Mereka juga dibebaskan dari belenggu materi dari kehidupan materialistic dan menjadi orang-orang yang dermawan. Dan Islam juga membebskan masyarakat Quraisy yang feodalistik menjadi masyarakat yang penuh persaman. Mereka juga dibebaskan dari belenggu kebodohan dengan memerintahkan untuk selalu menuntut ilmu, membangun budaya iqra, nadhar (memperhatikan) terhadap ciptaan Allah dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah.[4]
Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang pembebasan yang melepaskan masyarakat dari segala macam belenggu kehidupan. Surat al-‘Alaq adalah surat pembebasan dari kebekuan berpikir.[5]
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”[6]
Dengan demikian maka awal surat ini menjadi ayat pertama yang turun dalam Al-Qur’an sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia. Wahyu pertama yang sampai kepada Nabi saw. adalah perintah membaca dan pembicaraan tentang pena dan ilmu. Tidakkah kaum Muslimin menjadikan ini sebagai pelajaran lalu menyebarkan ilmu dan mengibarkan panjinya. Sedangkan Nabi yang ummi ini saja perintah pertama yang harus dikerjakan adalah membaca dan menyebarkan ilmu. Betapa pentingnya sebuah ilmu itu sampai-sampai wahyu pertama Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW. itu perintah membaca.
Demikian pula dengan surat AL-Ikhlas merupakan surat yang menegaskan pengakuan Alahh sebagai satu-satunya Zat yang perlu diimani dan disembah sekaligus membebaskan manusia dari belenggu syirik.
Dakwah juga berarti membebaskan manusia dari kemiskinan. Karena kemiskinan itu akan dapat mengurangi martabat manusia, walaupun tidak setiap orang miskin martabatnya lalu rendah. Kemiskinan juga dapat mendorong manusia untuk melakukan kejahatan seperti mencuri, merampok, menjual diri. Banyak peristiwa yang buruk itu diakibatkan karena kemiskinan. Oleh sebab itu kemiskinan harus dihilangkan. Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan seandainya kemiskinan itu berujud sebuah makhluk akan ditebas lehernya.
3. Dakwah Sebagai Penyelamat
Dakwah juga berarti penyelamatan manusia dari berbagai hal yang mungkin timbul atau yang telah terjadi yang merugikan manusia. Dakwah dalam pengertian pencegahan atau sering disebut nahi munkar adalah menjaga agar manusia tidak terperosok kedalam kesalahan/dosa dan tidak mengalami degradasi kemanusiaanya. Semakin banyak melakukan dosa, maka kemanusiaannya semakin menipis dan kalau tidak berhenti maka kemanusiaanya semakin menipis dan kalau tidak berhenti kemanusiaanya dapat habis dan yang muncul adalah potensi kebinatangannya.
4. Perbedaan Pendapat Para Ulama
Namun ada perpedaan pendapat diantara para ahli tafsi tentang arti sesungguhnya Rahmatan lil Alamin ini. Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala: yang artinya “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107).
Dalam lisanul arob dijelaskan bahwa Secara bahasa, rahmat artinya ar-rifqu wath-tha’athuf; yang artinya adalah kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Adapun makna secara istilah, Penafsiran dari Para Ahli Tafsir, diantaranya Muhammad bin Jarir Ath Thabari menyebutkan bahwa: Sebagian ahli tafsir berpendapat, rahmat yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini: ”Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”.
Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini: “Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya”.
Selain itu, Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir menjelaskan bahwa “Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan oleh Allah)” (HR. Al Bukhari).
Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, yaitu Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya adzab bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”.
Inilah pemahaman yang benar tentang kalimat Rahmatan lil ‘alamin, dan ini sangat bersebrangan dengan Pemahaman yang disalah artikan oleh sebagian orang-orang liberalis, dimana mereka mengatakan bahwa Rahmatan lil ‘alamin adalah Berkasih sayang dengan orang kafir.
Padahal ayat yang menyebutkan rahmatan lil ‘alamin ini sama sekali tidak anjuran untuk perintah berkasih sayang kepada orang kafir. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat Allah bagi orang kafir dalam ayat ini adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu.
Selain itu, konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya. Hal ini Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya adalah: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Namun perlu dicatat, harus membenci mereka bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti orang kafir yang kita temui, dimana dalam hal ini terdapat penjelasan yang sangat rinci, yaitu bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai.
Kemudian, ada juga di antara kaum muslimin yang mengatakan bahwa rahmatan lil ‘alamin adalah Berkasih sayang dalam kemungkaran dan penyimpangan agama
Sebagian kaum muslimin membiarkan berbagai maksiat dan penyimpangan agama serta enggan menasehati dan mendakwahi mereka karena khawatir para pelakunya tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian ia berkata : “Islam kan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Dan sungguh ini adalah perkataan yang sangat aneh.
Sebagian kaum muslimin membiarkan berbagai maksiat dan penyimpangan agama serta enggan menasehati dan mendakwahi mereka karena khawatir para pelakunya tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian ia berkata : “Islam kan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Dan sungguh ini adalah perkataan yang sangat aneh.
Padahal sebagaimana yang telah kami sampaikan tadi, bahwasanya Islam sebagai rahmat Allah bukanlah maknanya berkasih sayang kepada pelaku kemungkaran serta membiarkan mereka terus melakukannya. Melainkan Sebagaimana dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya tadi bahwa: “Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.
Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan. dan inilah bentuk rahmatan lil ‘alamin yang sebenarnya.
Selain itu Dalam surat Al Ashr juga dijelaskan bahwa sesame muslim harus saling menasihati, sebagaimana Allah subhanahu Wata'ala berfirman yang artinya: “ … dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Dermawan Andy, Metodologi Dakwah, Yogyakarta: Lefsi, 2002.
muslim.or.id
Sumber Wawancara
Fuad Safrudin, Alumni Mahasiswa PAI STAIN Surakarta.
[1] http://sarmidihusna.blogspot.com/2007/12/membumikan-dakwah-rahmatan-lil-alamin.html
[2] Andy Dermawan, dkk, Metodologi Dakwah, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm 29
[4] Andy Dermawan, dkk, Metodologi Dakwah, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm 30
[5] Ibid
[6] http://wirausahapesantren.blogspot.com/2010/04/tafsir-surat-al-alaq.html
[7] muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar