Teori Dependensi
1. Sejarah Perkembangan Teori Dependensi.
Pendekatan teori dependensi pertama kali muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang telah dijalankan oleh Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin. (United Nation Economic Commission for Latin Amerika)ECLA?KEPBBAL) pada masa awal tahun 1960-an. Pada tahun 1950-an banyak pemerintahan di Amerika Latin, yang dikenal cukup “populis”, mencoba untuk menerapkan strategi pembangunan dari KEPBBAL yang menitik beratkan pada proses industrialisasi melalui program industrialisasi subsitusi impor (ISI). Dari padanya diharapkan akan memberikan keberhasilanyang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan hasil pembangunan, peningkatan kesejahtaraan rakyat, dan pada akhirnya akan memberikan suasana yang mendorong pembangunan politik yang lebih demokratis. Yang terjadi adalah sebaliknya, ekspansi ekonomi amat singkat, dan segera berubah menjadi stagnasi ekonomi.
Disamping itu, lahirnya teori dependensi ini juga dipengaruhi dan merupakan jawaban atas krisis teori Marxis ortodoks di Amerika Latin. Menurut pandangan Marxis ortodoks, Amerika Latin harus mempunyai tahapan revolusi industri “borjuis” sebelum melampaui revolusi sosialis proletar. Namun demikian Revolusi Repuplik Rakyat Cina (RRC) tahun 1949 dan revolusi Kuba pada akhir tahun 1950-an mengajarkan pada kaum cendikiawan, bahwa negara dunia ketiga tidak harus mengikuti tahapan-tahapan perkembangan tersebut. Tertarik pada model pembanguan RRC dan Kuba, banyak intelektual radikal di Amerika Latin berpendapat, bahwa negara-negara Amerika Latin dapat saja langsung menuju dan berada pada tahapan revolusi sosialis.
2. Asumsi dasar teori dependensi klasik.
v Keadaan ketergantungan dilihat dari satu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia ketiga. Teori dependensi berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan ketergantungan di Dunia Ketiga sepanjang perkembangan kapitalisme dari Abad ke-16 sampai sekarang.
v Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh “faktor luar”, sebab terpenting yang menghambat pembangunan karenanya tidak terletak pada persoalan kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan semangat wiraswasta, melainkan terletak pada diluar jangkauan politik ekonomi dalam negeri suatu negara. Warisan sejarah kolonial dan pembagian kerja internasional yang timpang bertanggung jawab terhadap kemandekan pembangunan negara Dunia Ketiga.
v Permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalir surplus ekonomi dari negara Dunia Ketiga ke negara maju. Ini diperburuk lagi kerena negara Dunia Ketiga mengalami kemerosotan nilai tukar perdagangan relatifnya.
v Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global. Disatu pihak, mengalirnya surplus ekonomi dari Dunia Ketiga menyebabkan keterbalakangannya, satu faktor yang mendorong lajunya pembangunan dinegara maju.
v Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan. Bagi teori dependensi, pembangunan di negara pinggiran mustahil terlaksana. Sekalipun sedikit perkembangan dapat saja terjadi dinegara pinggiran ketika misalnya sedang terjadi depresi ekonomi dunia atau perang dunia. Teori dependensi berkeyakinan bahwa pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak mungkin dalam situasi yang terus menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi ke negara maju.
3. Warisan pemikiran
a. KEPBBAL
Proses perumusan kerangka teori dari perspektif dependensi, yang pada mulanya merupakan paradigma pembangunan yang khas di Amerika Latin, berkaitan erat dengan KEPBBAL. Dengan apa yang dikenal sebagai “Manifesto KEPBBAL”, Prebisch ketua KEPBBAL, memberikan kritik tentang keusangan konsep pembagian kerja internasional (international division of labour/IDL). Menurut skema IDL, Amerika Latin akan memperoleh banyak keuntungan apabila di satu pihak, ia lebih memfokuskan pada upaya memproduksi bahan pangan dan bahan mentah yang diperlukan oleh negara-negara industri. Dilain pihak, negara-negara industrri tersebut menyediakan keperluan barang-barang industri yang dibutuhkan Amerika Latin (tentu juga kebutuhan barang industri negara pinggiran yang lain). Pada garis besarnya, Prebisch mengajukan gagasan dasar bahwa pembagian kerja internasional yang hanya menguntungkan negara industri harus dihentikan, dan Amerika Latin harus melakukan pembangunan industri untuk menjamin kebutuhan dalam negeri, disamping tetap memperhatikan dan menjaga, paling tidak untuk sementara, kemampuan ekspor bahan pangan dan bahan mentahnya.
Proses industrialisasi hendaknya dipercepat dengan cara memproduksi sendiri kebutuhan barang-barang dalam negeri untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali beban penyediaan devisa negara yang selama ini diperlukan untuk membayar impor barang-barang tersebut. Pada permulaannya, indusrei dala negeri harus dilindungi dan persaingan bebas barang-barang luar negeri dengan penetapan tarif barang impor yang tinggi dengan cara lainnya, tetapi jika kemampuannya bersaing telah meningkat dan dianggap sepadan, industri dalam negeri harus mampu bersaing tanpa adanya proteksi.
Sejak awal garis kebijaksanaan KEPPBBAL ini diterima dengan tidak antusias oleh Pemerintah Amerika Latin. Keengganan ini merupakan salah satu sebab mengapa KEPBBAL tidak mampu merealisasikan beberapa gagasan lainnya yang lebih radikal, diantaranya termasuk program pembagian tanah. Sayang program KEPBBAL ini tidak berhasil. Stagnasi ekonomi dan represi politik muncul dipermukaan pada tahun 1960-an. Dalam hal ini ditunjuk dan dijelaskan berbagai kelemahan dan kebijaksanaan industralisasi subsitusi impor (ISI) yang dijalankan oleh Amerika Latin. Daya beli masyarakat terbatas pada kelas sosial tertentu, pada pasar domestik ternyata tidak menunjukkan gejala ekspansi setelah kebutuhan barang dalam negeri tersedia. Ketergantungan terhadap impor hanya sekedar beralih dari barang-barang konsumsi ke barang-barang modal. Barang-barang ekspor konvensional tidak terperhatikan dalam suasana hiruk pikuk industrialisasi. Akibatnya adalah timbulnya masalah-masalah yang akut pada neraca pembayaran, yang muncul hampir bersamaan waktunya, disatu negara diikuti segera oleh negar yang lain. Optimisme pertumbuhan berganti depresi yang mendalam.
b. Neo-Marxisme
Teori dependensi juga memiliki warisan pemikiran dari neo-marxisme. Keberhasilan Revolusi RRC dan Kuba telah membantu tersebarnya perpaduan baru pemikiran-pemikiran Marxisme di universitas-universitas di Amerika Latin, yang kemudian menyebabkan lahirnya generasi baru, yang dengan lantang menyebut dirinya sendi dengan “Neo-Marxists”. Menutur Foster-Carter, neo-marxisme berbeda dengan Marxis ortodoks dalam beberapa hal sebagai berikut:
Ø Marxis ortodoks melihat imperialisme dari sudut pandang negara-negara utama (core countries), sebagai tahapan lebih lanjut dari perkembangan kapitalisme di Eropa Barat, yakni kapitalisme monopolistic, neo-marxisme melihat imperialisme dari sudut pandang negara pinggiran, dengan lebih memberikan perhatian pada akibat imperilalisme pada negara-negar dunia ketiga.
Ø Marxis ortodoks cenderung berpendapat tentang tetap perlu berlakunya pelaksanaan dua tahapan revolusi. Revolusi borjuis harus terjadi lebih dahulu sebelum revolusi sosialis. Marxis ortodoks percaya bahwa borjuis progresif akan terus melaksanakan revolusi borjuis yang tengah sedang berlangsung dinegara Dunia Ketiga dan hal ini merupakan kondisi awal yang diperlukan untuk terciptanya revolusi sosialis dikemudian hari. Dalam hal ini neo Marxisme percaya, bahwa negara Dunia Ketiga telah matang untuk melakukan revolusi sosialis.
Terakhir, jika revolusi soaialis terjadi, Marxisme ortodoks lebih suka pada pilihan percaya, bahwa revolusi itu dilakukan oleh kaum proletar industri di perkotaan. Dipihak lain, neo-Marxisme lebih tertarik pada arah revolusi Cina dan Kuba. Ia berharap banyak pada kekuatan revolusioner dari para petani di pedesaan dan perang gerilya tentara rakyat.
4. Implikasi kebijiaksanaan teori dependensi klasik
Secara filosofis, teori dependensi menghendaki untuk meninjau kembali pengertian “pembangunan”. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk diartikan sebagai sekedar proses industrialisasi, peningkatan keluaran (output), dan peningkatan produktivitas. Bagi teori dependensi, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk dinegara Dunia Ketiga. Dengan kata lain, pembangunan tidak sekedar pelaksanaan program yang melayani kepentingan elite dan penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan program yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan, para pencari kerja, dan sebagian besar kelas sosial lain yang dalam posisi memerlukan bantuan. Setiap program pembangunan yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan membebani mayoritas masyarakat tidaklah dapat dikatakan sebagai program pembangunan sebenarnya.
5. Perbandingan teori modernisasi dengan teori dependensi
Kedua teori ini berbeda dalam memberikan jalan keluar persoalan keterbalakangan negara Dunia Ketiga. Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori dependensi memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus menerus untuk mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.
Elemen perbandingan | Teori modernisasi klasik | Teori dependensi klasik |
1.Persamaan fokus perhatian (keprihatinan). | · Pembangunan dunia ketiga. | o Sama. |
2.Metode. | · Sangat abstrak. · Perumusan model-model. | o Sama. o Sama. |
3.Dwi-kutub struktur ekonomi. | · Tradisional dan modern. · (maju). | o Sentral (metropolis). o Pinggiran (satelit). |
4.Perbedaan warisan teoritis. | · Teori evolusi. · Teori fungsionalisme. | o Program KEPBBAL. o Marxis ortodoks. |
5.Hubungan internasional. | · Saling menguntungkan. | o Merugikan negara dunia ketiga. |
6.Masa depan dunia ketiga. | · Optimis. | o Pesimis. |
7.Kebijaksanaan pembangunan (pemecahan masalah). | · Lebih mendekatkan keterkaitan negara maju. | o Mengurangi keterkaitan dengan negara sentral revolusi sosialis. |
6. Hasil kajian teori dependensi klasik.
a. Tenaga teori depandensi klasik
Ketergantungan dan keterbelakangan Indonesia mencerminkan kerakteristik yang khas teori dependensi dalam usahanya menguji persoalan pembangunan Dunia Ketiga. Dari padanya diharapkan dapat dilihat secara lebih jelas dan karena itu dapat dicari kekuatan teori dependensi dalam mengarahkan pola pikir peneliti, para perencana kebijaksanaan, dan pengambil keputusan untuk mengikuti tesis-tesis yang diajukan. Dalam hal ini teori dependensi dibanding dengan dua pendekatan pokok yang lain. Namun lebih ditujukan untuk menggali sejauh mana tenaga yang dimiliki teori dependensi dalam mempengaruhi peta pemikiran persoalan pembangunan.
Nampaknya ketiga hasil kajian tersebut memiliki asumsi yang sama, yakni ketergantungan pembangunan yang terjagi di negara-negara tersebut disebabkan oleh faktor luar, yang tidak berada didalam jangkauan pengendaliannya, yang pada akhirnya posisi ketergantungan ini akan membawa akibat jauh berupa keterbelakangan pembangunan ekonomi.
b. Ketergantungan dan faktor luar.
Tenaga inti yang dimiliki oleh teori dependensi klasik dapat diketahui dari kemampuannya untuk mengarahkan peneliti dan pengambil keputusan untuk menguji sejauh mana dominasi asing telah secara signifikan mempengaruhi roda pembangunan nasional.
c. Ketergantungan ekonomi.
Dengan merumuskan ketergantungan sebagai akibat dari adanya ketimpangan nilai tukar barang dalam transaksi ekonomi, teori dependensi telah mampu mengarahkan para pengikutnya untuk lebih memperhatikan dimensi ekonomi dari situasi ketergantungan. Dalam hal ini, sekalipun teori dependensi sama sekali tidak mengesampingkan dimensi politik dan budaya, persoalan ini hanya dilihat sebagai akibat lanjutan dari dimensi ekonomi.
d. Ketergantungan dan pembangunan.
Teori dependensi klasik hampir secara ”sempurna” menguraikan akibat negatif yang harus dialami negara Dunia Ketiga sebagai akibat situasi ketergantungannya. Bahkan terkadang tarasa agak berlebihan, ketika teori dependensi menyebutkan bahwa hanya dengan menghilangkan sama sekali situasi ketergantungan, negara Dunia Ketiga baru akan mampu mencapai pembangunan ekonomi.
e. Kritik terhadap teori dependensi.
Sejak tahun 1970-an, teori dependensi klasik telah demikian banyak menerima kritik. Pada dasarnya kritik yang mereka ajukan mendasarkan diri pada ketidakpuasan mereka terhadap metode kajian, konsep, dan sekaligus implikasi kebijaksanaan yang selama ini dimiliki oleh teori dependensi klasik.
f. Metode pengkajian.
Teori dependensi menuduh ajaran teori modernisasi tidak hanya sekedar pola pikir yang memberikan pembenaran ilmiah dari ideologi negara-negara barat untuk mengeksploitasi negara dunia ketiga. Dalam menanggapai kritik ini, teori modernisasi membalas dengan tidak kalah garangnya, dengan menunjuk bahwa teori dependensi hanya merupakan alat propaganda politik dari ideologi revolusioner Marxisme. Baginya, teori dependensi bukan merupakan karya ilmiah, melainkan lebih merupakan pamflet politik
g. Kategori teoritis.
Teori dependensi menyatakan, bahwa situasi ketergantungan yang terjadi di Dunia Ketiga lahir sebagai akibat desakan faktor eksternal. Disinilah para penganut pola pikir neo-Marxisme mengarahkan kritiknya. Mereka menuduh, bahwa teori dependensi secara berlebihan menekankan pentingnya pengaruh faktor eksternal, dengan hampir melupakan sama sekali dinamika internal, seperti misalnya peranan kelas sosial dan negara.
h. Implikasi kebijaksanaan.
Sejak dari awal penjelasannya, teori dependensi telah secara tegas dan detail menguraikan akibat buruk dari kolonialisme dan pembagian kerja internasional. Teori ini berpendapat, selama hubungan pertukaran yang tidak berimbang ini tetap bertahan sebagai landasan hubungan internasional, maka ketergantungan negara dunia ketiga tetap tak terselesaikan. Oleh karena itu, teori dependensi mengajukan usulan yang radikal untuk mengubah situasi ketimpangan ini, yakni dengan revolusi sosialis.
Teori dependensi baru
a. Fase ketergantungan dinamis.
Pada masa krisis moneter dan krisis kepercayaan melanda bumi Indonesia tercinta banyak sekali permasalahan yang timbul akibat dari hal ini. Dampaknya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adalah makin meningkatnya jumlah angka kemiskinan yang seharusnya turun dengan adanya priogram-program yang dilaksanakan pemerintah bukan menjadi semakin terpuruk.
Hal itupun dirasakan oleh pemerintah Indonesia sebagai masalah baru yang harus diselesaikan secepatnya. Jika tidak kondisi atau keadaan akan semakin terpuruk dan akan menimbulkan kekacauan, konflik, tIndak kriminal, dan lain sebagainya.
Pada awal-awal terjadinya krisis moneter pemerintah Indonesia sangat bergantung sekali dengan pihak luar. Karena pemerintah harus membangun negara ini dari tahap yang terkecil hingga tahap yang terbesar. Kebijakan pemerintah pada saat itu adaLah dengan menerima bantuan dana dari IMF (International Monetary Foundation) berupa bantuan pinjaman dana yang harus dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
Setelah krisis moneter telah berlalu yang ditandai dengan membaiknya kondisi ekonomi dan segala aspek kegiatan di segala bidang serta hutang bantuan dana yang telah dilunasi, negara ini tetap masih mengantungkan perputaran roda pemerintahan ini kepada negara-negara luar. Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya investor asing yang menduduki peringkat atas dalam pemegang kekuasaan di industri-industri. Saham-saham yang dimiliki indonesia pun ada sebagian dijual kepiha asing misalnya, Indosat, HM Sampoerna, dan lain-lainnya. Hal ini, dapat membuktikan bahwa perekonomian negara ini masih bergantung dengan negara-negara asing, dalam ini mengenai penanaman dana investor untuk industri-industri di Indonesia, yang berakibat pemerintah Indonesia sangat sulit lepas dari ketergantungan.
b. Kekuatan teori dependensi baru
Teori dependensi baru telah mengubah berbagai asumsi dasar yang dimilki oleh teori dependensi klasik. Teori ini tidak lagi menganggap situasi ketergantungan sebagai suatu keadaan yang berlaku umum dan memilki karakteristik yang serupa tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Situasi ketergantungan juga tidak lagi semata disebabkan oleh faktor eksternal, lebih dari itu, teori dependensi baru ini tidak memberlakukan lagi situasi ketergantungan sebagai persoalan ekonomi yang akan mengakibatkan adanya polarisasi regional dan keterbelakangan, ketergantungan, menurut teori yang telah diperbaharui ini, lebih dikonsepkan sebagai sesuatu yang memiliki batas ruang dan waktu yang karenanya selalu memiliki ciri yang unik. Dengan kata lain, situasi ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan yang spesifik. Lebih dari itu, faktor internal memilki andil lahirnya suasana ketergantungan, dan karenanya ketergantungan juga merupakan persoalan politik sosial.
Dengan perubahan pendekatan seperti yang telah diuraikan, tidak heran jika teori dependensi baru ini telah melahirkan berbagai ketegori ilmiah baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh teori dependensi klasik seperti misalnya adalah ”pembangunan yang bergantung”, ”negara birokratik otoriter”, ”aliansi tiga kelompok” dan ”pembangunan yang dinamis”. Sebagai akibatnya, pengartian-pengartian baru ini telah mampu membantu membuka jendela untuk melihat persoalan baru, atau paling tidak dengan pisau analisa baru, yang pada gilirannya telah menghasilkan tidak sedikitnya karya penelitian baru yang menguji secra lebih teliti persoalan pembangunan dan ketergantungan di negara dunia ketiga.
Teori dependensi klasik | Teori dependensi baru | |
1.Persamaan pokok perhatian | · Negara dunia ketiga | o Sama |
2.Level analisa | · Nasional | o Sama |
3.Konsep pokok implikasi | · Sentral-pinggiran · Ketergantungan | o Sama |
4.Kebijaksanaan | · Ketergantungan bertolak-belakang dengan pembangunan | o Sama |
5.Perbedaan metode | · Abstrak pola umum · ketergantungan | o Historis-struktural situasi konkrit ketergantungan |
6.Faktor pokok | · Eksternal kolonialisme dan ketidakseimbangan nilai tukar | o Internal negara dan konflik kelas |
7.Ciri-ciri politik ketergantungan | · Fenomena ekonomis | o Fenomena sosial |
8.Pembangunan dan ketergantungan | · Bertolak-belakang · Hanya menuju pada keterbelakangan | o Koeksistensi: o Pembangunan yang bergantung |