Rabu, 22 Juni 2011

Batik menurut teori modernisasi


BAB 1
1.      Pendahuluan
  1. Pembukaan
Ketika bicara masalah batik sebenarnya bukan sekedar membahas masalah industri keratif, seni kerajinan batik,profesi pembatik yang dimiliki individu atau komunitas masyarakat tertentu. Tetapi sebenarnya kita membahas budaya komunal, budaya local, dan budaya nasional sebuah bangsa. Karena batik merupakan ranah budaya yang dianggap memiliki nilai arstistik tinggi, namun dibalik itu ada permasalahan yang bersifat kompleks. Batik dewasa ini menjadi ikon budaya sebuah komunitas masyarakat, bangsa dan Negara.Batik merupakan simbiose komunal yang merepresentasikan budaya local bernilai tinggi dalam sebuah komunitas masyarakat tertentu. Batik bisa menjadi media lintas budaya, karena keberadaannya merepresentasikan keragaman seni tradisional masyarakat komunal di suatu daerah. Batik baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi sebuah identitas komunitas masyarakat. Charles Shander Feire (1981) menyebutnya sebagai indexical budaya komunal masyarakat. Secara historical seni batik di Indonesia konon berasal dari zaman Nenek Moyang yang ketika itu ditulis di selembar daun lontar. Kemudian dikembangkan secara terus menerus (turun temurun) oleh masyarakat tertentu sebagai symbol atau identitas.
Seni batik menjadi terkenal karena ia menjadi identitas sekaligus symbol sebuah komunitas masyarakat baik secara lokal maupun nasional. Batik sebagai symbol local masyarakat secara implisit dapat teridentivikasi dari corak dan motifnya. Artinya ketika kita melihat corak dan motif batik, maka secara spontan dapat di identivikasi batik yang bersangkutan diproduksi di daerah mana. (misalnya, batik Pekalongan, batik Solo, batik Jogya, batik Sunda, batik Madura, dsb). Secara nasional batik dianggap merepresen tasikan identitas budaya sebuah bangsa.Lembaga PBB yang membidangi masalah kebudayaan UNESCO telah menyetujuhi ”batik sebagai warisan budaya” yang dihasilkan oleh Indonesia (Kompas,11/12/2009). Dalam konteks ini budaya bangsa dibentuk dari keunggulan budaya lokal. Salah satu diatranya di wakili oleh kerajinan atau industri batik. Dengan kata lain budaya bangsa mewarisi nilai keunggulan dari budaya lokal yang ada di berbagai komunitas masyarakat. Maka budaya batik di Indonesia dianggap sebagai warisan budaya (cultural heritage) yang tidak ternilai bagi bangsa ini. Berangkat dari pemahaman tersebut maka ”batik” di difinisikan sebagai identitas bangsa.
·         Batik Tulis
Pada dasarnya jika dilihat dari akar budaya yang terjadi ”seni kreasi batik” tidak ubahnya seperti perkembangan seni lukis. Pada awalnya seni batik yang terkenal adalam motif batik tulis. Batik tulis adalah batik yang dikerjakan secara tradisional, dilukis menggunakan (sogo dan canting) oleh para pembatik. Sebagian besar mereka tidak mendapatkan pendidikan formal tentang batik. Mereka belajar membatik berdasarkan ”otodidak” dari seniornya. Mereka membatik bukan merepresentasikan sebagai seniman batik. Tetapi mereka membatik karena tuntutan ekonomi, dan bekerja sebagai buruh pada juragan batik. Maka meski karyanya menjadi simbol komunitas lokal, maupun nasional sebagai karya budaya, mereka tidak pernah menuntut penghargaan.
Karya seni yang mereka tuangkan dalam ratusan kodi batik sebagai komoditas bisnis, tidak lebih sebagai untuk memenuhi kebutuhan pokok (sandang dan pangan). Meski penciptanya kurang mendapatkan penghargaan, tetapi produk seni kreasi batiktulis yang mereka ciptakan mampu menjadi ikon sebuah komunitas dan budaya bangsa. Bagi komunitas tertentu keberadaan batik tulis masih dijadikan simbol sosial bagi masyarakat tertentu. Memakai batik tulis dari bahan sutera, masih dianggap lebih prestisus ketimbang memakai batik sablon, atau printing dari bahan yang sama. Dalam dunia bisnis motif batik tulis mempunyai pangsa pasar tersendiri. Maka kreasi seni batik tulis meski dikelola secara tradisional masih mendapat tempat di komunitas masyarakat tertentu. Kreasi seni batik tulis itu bergeser menjadi sebuah identitas masyarakat komunal.
Budaya lokal dalam konteks ini ”disimbolkan dari produksi artistik seni dan produk budaya lain dalam bentuk kerajinan, seni dan teks budaya” (William, 1981). Sampai sekarang produksi batik tulis masih dilihat sebagai ”kreasi seni batik artistik” yang mempunyai nilai filosofi dan ideologi tertentu. Pengguna batik tulis dilihat dari perspektif budaya masih tampak menyimbolkan adanya perbedaan kelas pada komunitas masyarakat tertentu. Dalam konteks ini Bourdeau (1984) melihat bahwa penilaian terhadap budaya tetap menjadi sumber daya dalam pembagian kelas, dan kekuasaan sosial yang menandai batas batas kelas, kompetensi budaya, dan modal budaya. Dalam implementasinya meski batik tulis tradisional konsumennya dianggap terbatas, tetapi keberadaannya masih dipertahankan
  1. Latar Belakang Masalah
Di era modern ini begitu banyak sesuatu yang lama yang sudah pudar dan bahkan musnah karena tidak bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman serta tingkah laku manusianya selalu berubah. Namun dari pada itu banyak sesuatu yang lama itu masih sanggup bertahan serta mengimbangi kemajuan zaman yang pesat, serta mampu menciptakan sebuah kekuatan yang dapat berguna bagi banyak orang.  Salah satunya adalah batik. Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "nitik". Batik adalah seni melukis dilakukan diatas kain dengan menggunakan lilin atau malam sebagai pelindung untuk mendapatkan ragam hias diatas kain tersebut. Batik memang identik dengan masyarakat jawa yang umumnya hidup dengan nilai-niali tradisional yang masih di pertahankan.
Selain batik, merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat bersahaja, karena batik sangat berwibawa dan setiap orang minimal punya satu buah batik untuk acara acara resmi seperti ke undangan perkawinan, pengajian dan lain-lain. Sampai-sampai suka ada image bahwa jika memakai batik pada saat acara formal atau semi formal akan kelihatan lebih ber-etika dan bersahaja.
Seiring dengan berkembangnya dunia fashion dan industri pakaian modern seperti Jas,kemeja,dll, Batik pun tergeser keberadaannya, sempat beredar rumor bahwa Batik itu kuno, batik itu kampungan, kalau pakai Batik diidentikkan dengan aki-aki atau ninik-ninik yang berumur tua, motifnya pun terkadang di gambarkan untuk pakian nenek-nenek.
Dikalangan anak muda bahkan batik sangat tidak di perhatiakan sebagai model pakaian yang semestinya di pakai dalam acara-acara resmi. Anak muda lebih sering mengenakan jass, jacket atau kemeja karena lebih modern dan tidak kuno. Walaupun batik telah diakui secara Internasional oleh UNESCO sebagai warisan budaya asli Indonesia namun tidak serta merta batik menjadi trend dalam busana berpakaian orang Indonesia. Padahal dengan mengenakan pakaian Batik minimal pada acara kondangan kita telah memberikan sumbangsih kepada budaya Indonesia agar tetap bertahan dan tidak di tinggalkan.

c.       Tujuan

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana Batik bisa bertahan di zaman modern serta sejauh mana peran Batik bagi pembangunan di Indonesia.
d.      Manfa’at

Banya sekali manfa’at  yang bisa di ambil dari kajian tentang Budaya Batik ini. Salah satunya kita akan lebih menghargai nilai budaya sebagai warisan nenek moyang yang dapat mendatangkan peluang usaha serta dapat meningkatkan taraf hidup suata masyarat.

BAB 2
1.      Tinjauan Teori


a.      Modernisasi

Sejak tahun 1970-an teori modernsasi secara sungguh-sungguh memberikan tanggapan, bahkan perbaikan pada kerangka terorinya. Segala asumsi, penjelasan pokok, dan metode kajian yang digunakan secara perlahan dan dalam batas-batas tertentu sudah dirubah.
Namun tidak berbeda dengan teori modernisasi klasik, teori modernisasi baru juga memiliki pokok perhatian pada persoalan pembangunan di Negara Dunia Ketiga. Teori modernisasi baru juga menggunakan analisa pada tingkat nasional, dan tetap berusaha menjelaskan pembangunan Dunia Ketiga dengan bertitik tolak pada factor internal, sperti nilai-nilai tradisional dn berbagai pranata sosial. Dan yang paling penting, teori modernisasi baru masih berpegang pada asumsi pokoknya, yaitu bahwa Negara Dunia Ketiga pada umumnya akan tetap memperoleh keuntunagn melalui proses modernisasi dan hubungan yang lebih mesra dan intensif dengan barat.
Perbedaan mendasar antara teori modernisasi klasik dan modernisasi baru antara lain:
1.      Teori modernisasi baru tidak lagi melihat bahwa nilai tradisional merupakan factor penghambat pembangunan, bahkan berusaha menunjukan sumbangan positif yang diberikan nilai-nilai tradisional.
2.      Secara metodologis, tidak lagi bersandar pada analisa yang abstrak dan tipologi, tetapi lebih cenderung member perhatian yang seksama pada kasuk-kasus yang nyata. Sejarah dianggap sebagai factor yang signifikan untuk menjelaskan pola perkembangan dari satu Negara tertentu.
3.      Teori modernisasi baru tidak menganggap greak pembanguan satu arah dan menjadikan barat sebagai satu-satunya model, tetapi menerima kenyataan bahwa Negara Dunia Ketiga dapat memiliki kesempatan untuk menentukan aras dan menemukan model pembangunannya sendiri.
4.      Teori modernisasi baru lebih memberikan perhatian pada factor eksternal (lingkungan internasional) dibanding pada masa sebelumnya. Sekalipun perhatian utamanya masih pada factor internal, peranan factor internasional dalam mempengaruhi proses pembangunan Dunia Ketiga tidak diabaikan begitu saja.

b.      Hasil Kajian Teori Modernisasi Baru

1)      Michael R.Dove : Budaya Lokal dan Pembangunan di Indonesia
Para teoretisi modernisasi dan pengikutnya termasuk kebanyakan ilmuwan sosial dan perencana pembangunan di Indonesia, mempunyai anggapan bahwa budaya tradisional dilihatnya sebagai factor proses modernisasi atau paling tidak budaya tradisional dianggap sebagai factor yang bertanggung jawab terhadap kegagalan modernisasi.
Menurut Dove anggapan itu adalah pandangan yang keliru. Dove dengan tidak ragu-ragu menyatakan bahwa tradisional tidak harus berarti terbelakang. Baginya budaya tradisional dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakat  pada tempat mana budaya tradisional tersebut melekat. Budaya tradisional selalu mengalami perubahan yang dinamis, oleh karena itu budaya tradisional tidak mengganggu proses tradisional.

c.       Karakteristik Teori Modernisasi Baru
1.                  Teori modernisasi baru menunjukan hubungan yang rumit dan kompleks antara tradisionalisme dan modernisasi. Dove melihat bahwa budaya tradisional merupakan sesuatu yang dinamis dan selalu mengalami perubahan, dan oleh karena itu tidak melihat bahwa budaya tradisional bertentangan dengan pembangunan.
2.                  Metode kajian teori modernisasi baru membawa kembali peran analisis sejarah, dan oleh karena itu lebih memberikan perhatian pada keunikan dari setiap kasus pembangunan yang dianalisa. Kajian Dove ketika menguji hubungan  budaya local dengan pembangunan di Indonesia, menunjukan bahwa budaya tradisional selalu mampu melakukan penyuseaian dengan baik terhadap kondisi local, dan oleh karena itu budaya tradisional, biasanya tidak bersalah, ketika budaya tradisional tersebut kemudian dijadikan salh satu target perubahan yang dinginkan  oleh pembangunan.
3.                  Perhatian teori modernisasi baru lebih ditujukan untuk mengamati dan menganalisa secara serentak dan simultan terhadap berbagai pranata sosial yang ada (sosial, budaya, skonimi, dan politik), berbagai kemungkinan arah pembangunan, dan interaksi antara factor internal dan eksternal.
Perbedaan yang tampak jelas antara teori modernisasi klasik dengan teori modernisasi baru dalam kaitannya dalam usaha pembangunan ekonomi Negara Dunia Ketiga. Jika dalam teori modernisasi klasik nilai-nilai tradisional dianggap sebagai factor kegagalam pembangunan, namun dalam teori modernisasi baru justru nilai-nilai tradisional tersebut dapat dijadikan batu loncatan untuk pembangunan.

BAB 3
Metodologi
Metode yang telah digunakan dalam pembuatan peper ini adalah dengan pendekatan kualitatif, yang mana dalam pembuatannya saya melakukan observasi atau pengamatan terhadap subjek dan lingkungan sekitar, kegiatan subjek dan hal-hal lain yang berkaitan dengan subjek.








BAB 4
1.      Deskripsi Kasus
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. [1]
Menurut teori Modernisasi Klasik salah satu factor penghambat pembangunan adalah masih dipertahankannya nilai-nilai tradisional. Teori modernisasi sangat terpengaruh dari Negara Barat, oleh karena itu suatu Negara dikatakan modern jika sudah sama dengan Negara barat. Karena teori modernisasi klasik mengabaikan pencarian dan pengembangan alternative pembangunan Negara Dunia Ketiga, karena harus mengikuti model barat.
Dalam kasus diatas dimana budaya batik telah hilang pesonanya dimakan kemajuan zaman. Orang-orang lebih suka mengenakan pakaian yang lebih elegan, modis, dan tidak kampungan. Pada jika ditelusuri lebih jauh kedalam batik sangatlah istimewa. Bagaimana tidak, organisasi Internasional sebesar UNESCO telah mengukir nama Batik sebagai warisan budaya  asli Indonesia.
Seperti yang dilansir situs viva news Batik Indonesia secara resmi diakui UNESCO dengan dimasukkan ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-benda di Abu Dhabi. Depbudpar menyatakan masuknya Batik Indonesia dalam UNESCO Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity merupakan pengakuan internasional terhadap salah satu mata budaya Indonesia, sehingga diharapkan dapat memotivasi dan mengangkat harkat para pengrajin batik dan mendukung usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Depbudpar menyatakan upaya agar Batik Indonesia diakui UNESCO ini melibatkan para pemangku kepentingan terkait dengan batik, baik pemerintah, maupun para pengrajin, pakar, asosiasi pengusaha dan yayasan/lembaga batik serta masyarakat luas dalam penyusunan dokumen nominasi.
UNESCO mengakui bahwa Batik Indonesia mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal, bayi digendong dengan kain batik bercorak simbol yang membawa keberuntungan, dan yang meninggal ditutup dengan kain batik.
UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia; memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya takbenda pada saat ini dan di masa mendatang.
Dengan demikian batik pun dapat dengan mudah mengembangkan usahanya tidak hanya di pasar local, namun sudah mencapai pasar Internasional. Batik sekarang tidak lagi dimiliki oleh  sekelompok masyarakat tertentu, namun batik sudah bisa diakses setiap orang di dunia. Dengan modal budaya yang di patenkan ini, kini kesejahterahan masyarakat pun jauh lebih baik. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan pandangan teori modernisasi klasik yang menyatakan nilai tradisional lah yang menghambat pembangunan. Namun batik ini seakan menjawab pandangan teori modernisasi klasik, bahwa nilai budayalah yang berperan pentinga dalam pembangunan Nasional.
Senada dengan Dove tentang budaya tradisional dianggap sebagai factor yang bertanggung jawab terhadap kegagalan modernisasi. Menurut Dove anggapan itu adalah pandangan yang keliru. Dove dengan tidak ragu-ragu menyatakan bahwa tradisional tidak harus berarti terbelakang. Baginya budaya tradisional dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakat  pada tempat mana budaya tradisional tersebut melekat. Budaya tradisional selalu mengalami perubahan yang dinamis, oleh karena itu budaya tradisional tidak mengganggu proses tradisional.






[1] a b c Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar